Sunday 11 September 2016

Ibu

Baik teman-teman, ini adalah cerita pendek pertama saya.. ini ditulis saat aku duduk di bangku kelas 3 SMP jadi mohon dimaklumi dan diapresiasi.. tinggalkan komentar untuk koreksi a’im ya teman teman!!

I.B.U

Hari ini adalah hari yang mungkin akan menyenangkan bagiku karena aku akan belajar di sekolah yang baru dan teman baru. Ya, ternyata benar aku sekarang memiliki banyak teman baru dan salah satunya adalah seorang santri. Aku tertarik dengan santri tersebut untuk mengetahui bagaimana rasanya hidup jauh dari orang tua dan berlatih prihatin di pesantren. Setelah agak lama aku bertanya-tanya dengan dia, aku jadi ingin juga merasakan bagaimana menjadi seorang santri, sehingga aku berniat setelah sepulang sekolah aku akan berbicara dengan ibu untuk mengungkapkan bahwa aku ingin hidup di pesantren.
Sepulang sekolah, aku lekas melepas sepatuku dan masuk ke rumah serta berteriak
“Ibu!”
 ”Iya nak, sudah ibu buatkan kopi.”
“Bukan bu, aku ingin hidup di pondok pesantren.” Aku duduk disamping kopi buatan ibuku.
“memangnya kenapa kamu ingin hidup di pondok?”
“tadi di sekolah aku punya teman baru seorang santri, terus aku bertanya bagaimana rasanya hidup di pesantren.. katanya, selain jauh dari orang tua kamu bias berlatih prihatin dan mendapat pendidikan agama.”
“tapi, kiki yang gagah ini kan belum terbiasa mencuci baju sendiri.”
“ahh, masalah itu cepat atau lambat pasti akan terbiasa lah Bu.”
“ya sudah, kamu habiskan dulu kopimu, lekaslah sholat dan setelah itu makan. Soal pesantren nanti akan ibu pertimbangkan dengan bapak dan kakak-kakakmu.”
Aku segera menghabiskan kopi hitam itu dan melaksanakan perintah-perintah ibuku. Setelah itu, aku menyempatkan untuk tidur sebentar menghilangkan penat setelah seharian beraktifitas di sekolah.
Ketika aku bangun, aku ditanya oleh ibuku
“Apakah kau sudah mantap, Ki?”
“ya Bu, keputusanku sudah sangat bulat
“kalau begitu, nanti kamu dan ibu akan membereskan barang-barangmu. Nanti malam juga, kamu akan ibu antar bersama keluarga kita.”
“ohh iya ya, baik bu.”
 Hingga sampailah waktu yang kun anti, aku benar-benar dipasrahkan oleh orang tuaku untuk tinggal di pesantren. Aku diantar oleh kakak, ibu dan bapakku. Sesampainya di pesantren aku melakukan pendaftaran terlebih dahului. Setelah pendaftaran selesai, semua keluargaku satu-persatu memelukku dan pulang. Hal itu membuat air mataku berjatuhan, tenggorokanku terasa kering. Tapi, aku mencoba untuk bersabar dan memang harus sabar. Aku biarkan mereka pergi meninggalkanku.
“lekas tidur nak, besok pagi bangunlah lebih awal dan memohonlah kepada Allah agar kamu diberi ketabahan.” Kata ibuku seraya mencium keningku. Aku berbalik badan dan pergi ke kamar untuk tidur
Keesokan harinya, aku bangun lebih awal sesuai perintah ibuku. Aku kerjakan sholat dua roka’at kemudian aku memohon kepada Tuhanku persis seperti apa kata ibuku. Setelah selesai, aku keluar dari kamar.
“Siapa kamu?” kaget aku. Ketika dihadapanku ada seseorang yang berbadaan tinggi
“tenang, ini aku, Asngad.” Katanya lirih setelah menghidupkan lampu.
 Ternyata dia adalah pengurus  pondok ini, lebih tepatnya adalah lurah pondok yang terkenal akan kecerdasan dan tata kramanya.
“Kok  matamu merah? Pasti habis nangis ya? Sabar saja dek, lama-kelamaan pasti kamu akan terbiasa.” Nasihatnya
“Baik, kang.” Kataku sambil mengingus lender dihidungku.
“yap, sekarang pergi mengajilah.” Perintahnya dengan tersenyum.
Sejak saat itu, kegiatanku hanya bersekolah dan mengaji. Kalau ada waktu luang, kadang aku lakukan untuk member kabar tentang keadaanku kepada keluarga melalui fasilitas ponsel pesantren. Terkadang, sengaja aku sempatkan untuk mendengarkan lagu-lagu Iwan Fals. Masalah mudik, satu bulan atau bahkan dua bulan sekali aku wajibkan diriku untuk itu.
Semua hal itu aku lakukan dengan senang hati, aku sudah terbiasa. Hingga sekarang aku kelas 9 MTs, usiaku telah mencapai 15 tahun. Mungkin karena aku sudah kelas 9, aku merasa lebih dewasa dan aku mulai mengabaikan kedisiplinanku, aku telah kenal dengan rokok, tidur larut malam adalah hal yang lumrah dan aku lebih sering bermain HP pribadiku yang aku bawa secara diam-diam. Akibatnya aku selalu datang terlambat di sekolah.
Suatu pagi, aku mendapat teguran dari Kang Asngad
“Oalaah kiki! Kenapa sekarang kamu berubah? Bukannya tambah prihatin, tambah disiplin, malah jadi seperti itu. Ingat ya, sekarang kamu sudah kelas 9, kamu adalah contoh bagi adik-adikmu, disini!”
”Berubah bagaimana,Kang?” tanyaku.
“Kata teman-temanmu, kamu sering terlambat sekolah. Padahal orang tuamu di rumah sudah bersusah payah mencari nafkah untukmu lho, agar kamu jadi bocah yang soleh dan membanggakan.” Jelas Kang Asangad dan aku hanya mengangguk dan menundukan kepalaku.
“Tuh kan, orang yang salah pasti akan takut, sudah sana berangkat sekolah!”
“tapi kang, sekarang sudah jam 7 tepat. Aku sudah terlambat dan mungkin aku akan dihukum guruku lagi.”
“sudah, tidak usah banyak alasan!”
Akupun langsung berlari menuju sekolah karena takut terlambat lagi. Dalam hatiku aku berharap agar tidak ada yang melihat keterlambatanku. Tapi semuanya sia-sia, aku sudah terlambat dan guruku memarahiku.
“Kiki!! Ini sudah yang ke berapa kali? Nanti akan aku buat surat panggilan untuk orang tuamu.”
“Tapi, Bu..”
“Tetap akan aku berikan, sekarang kamu push up 25 kali dan masuklah ke kelas!”
Di kelas, aku berfikir apa yang akan aku katakana kepada orang tuaku. Saat itu, tidak satu pun pelajaran yang aku dengarkan. Aku hanya memikirkan Ibu yang akan memarahiku. Sampai tak terasa bel berbunyi, tanda aku sudah boleh pulang.
Tidak lama setibanya aku di pesantren, Ibu mengirim sms.
“Kiki, kamu punya masalah apa di sekolah? Jawab!”
“Memangnya ada apa Bu?” balasku.
“Ibumu ini mendapat surat panggilan dari BK. Sejak dari kakak-kakakmu bersekolah, baru kali ini ibu mendapat surat semacam ini.”
“Ma’af Bu, aku minta ma’af.”
“Baik, tenang saja.. Besok Ibu dengarkan penjelasanmu.”
Sejak saat sms itu aku baca sms dari Ibuku, aku diselimuti kebimbangan dan penyesalan. Aku merenung dan terus merenung semua tindakanku.
Keesokan harinya, aku agak ragu untuk berangkat sekolah. Bukan karena sudah terlambat, namun rasa takut karena akan bertemu dengan ibuku. sadar atau tidak, aku telah mencoreng nama orang tuaku. Tiba-tiba Kang Asngad datang menghampiriku.
“Ki, kok kamu belum berangkat? Nanti telat lagi lho..”
“Ini kang, nanti orang tuaku akan datang ke sekolah memenuhi panggilan dari BK. Aku jadi takut untuk berangkat. Menurut njenengan bagaimana, Kang? Aku sangat bingung.”
“Tenang Ki, seorang ibu pasti akan memaafkan kesalahan anaknya. Yang penting, anaknya mau berubah.” Kata kang asngad sambil memegang bahuku
“Tapi kang, apa yang harus aku katakan?”
“Berkatalah dengan jujur, pasti akan mendatangkan kebaikan. Menurutku, lebih baik kamu sekarang tidak usah bawa HP ke pondok, nanti titipkan saja ke Ibumu. Sekarang berangkatlah.”
“Ide bagus kang.” Aku pura-pura tersenyum.
Kang Asngad memang figure yang baik, dia bisa menjadi sosok orang tua, kadang juga bias menjadi sosok teman bagiku. Namun, aku tidak tahu bagaimana cara dia mengetahui bahwa aku membawa HP ke pondok. Peduli amat, sekarang aku tidak khawatir lagi, ternyata disana-sini dan dimana-mana banyak orang-orang yang menyayangiku, aku saja yang menjadi mbanggel, mungkin akibat aku tidak bisa memanfaatkan HP dengan baik. Hingga tibalah aku di sekolah, aku langsung masuk ke kelas. Tidak lama kemudian, guru BK ku dating
“Kiki, ikut ibu ke ruang BK”
“Hayoo.. hayoo..” Sahut teman-teman menakutiku
Akupun berjalan menuju ruang BK dengan kresek berisikan HP, walaupun aku sudah mendapat solusi dari Kang Asngad namun aku masih melangkah ragu. Hingga tibalah aku aku di ruang BK, disana Ibuku ternyata sudah datang dan ngobrol ngalor-ngidul dengan wali kelasku.
“silahkan jelaskan semuanya pada ibumu.” Kata wali kelasku
“Ki, apa bener kamu sering terlambat sekolah? Jelaskan padaku mengapa bisa begitu!”
Aku duduk disamping Ibuku dan memegang tangannya
“Maafkan aku Bu, aku sering terlambat karena banyak hal buruk dari diriku. Salah satunya adalah sering mainan HP. Jadi, aku memutuskan untuk serahkan saja pada Ibu.” Kataku sambil memberikan kresekku
“Apa lebih baik kamu pulang saja dari pesantren? Di rumah kamu lebih terkontrol.” Kata Ibu
“….” Aku  hanya menggeleng
“Kamu ngga tau pengorbanan Ibu dan bapakmu ya? Setiap hari mencari uang tanpa lelah dan berharap anaknya di pesantren akan menjadi anak yang rajin, malah begini yang kamu balas.” Kata ibu
Aku pun tak bisa membendung air mataku
“Maaf Bu.. Maaf..”
“Baiklah, tapi kamu harus berubah mulai dari sekarang ya.” Kata Ibu sambil mengelus kepalaku
“Insya Allah Bu, aku pasti berubah, aku baru mengerti ternyata kasih sayang yang ibu berikan tak terhitung besarnya.” Kataku sambil mengusap air mata yang mengalir di pipiku.
“Ya sudah, sekarang Kiki mau berubah, besok jangan terlambat lagi ya.” Kata guruku
“Iya Bu..”
Akhirnya aku dan ibuku keluar dari ruang BK dan aku mengantarkan Ibuku sampai pintu gerbang sekolah, aku tak henti-hentinya mengucapkan kata maaf pada ibu. Hingga saat ibu mau pulang, aku jabat tangan Ibu dan ku ciumi tangannya.
Setelah itu aku masuk kelas dan mengikuti peelajaran sampai bel tanda pulang sekolah berbunyi. Aku berjalan menuju pesantren tidak sabar ingin mengucapkan terima kasih kepada Kang Asngad, orang yang selalu perhatian kepadaku, selalu menasehatiku dan orang yang selalu membantu masalahku.
Dalam perjalanan, aku berjanji pada diri sendiri, untuku memperbaiki sikapku, akan aku buang kata-kata “Kiki cerewet”, “Kiki bandel”, “Kiki pahlawan kesiangan” dan saat itu juga aku menyanyi kecil lewat mulutku sebuah lagu Iwan Fals yang berjudul Ibu..
“Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah... penuh nanah

Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu...ibu”

Tak terasa aku sudah tiba di depan mulut pesantren, aku ingin menangis rasanya.. betapa bengalnya aku. Aku berubah pikiran untuk tidak bertemu Kang Asngad dulu. Aku langsung masuk ke kamar, ku lempar tasku dan ku lanjutkan nyanyiku.
“Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas...ibu...ibu....

Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu...ibu”
Aku benar-benar menangis. TAMAT!!


NB: Bhehee, apik ya? Ngapurane tulisane, tanda bacane karo kabehane akeh kekurangane.. Maturnuwun wis dolan, kanca-kancane tidoki ya..


No comments:

Post a Comment