Baik teman-teman, ini adalah cerita pendek pertama saya.. ini
ditulis saat aku duduk di bangku kelas 3 SMP jadi mohon dimaklumi dan
diapresiasi.. tinggalkan komentar untuk koreksi a’im ya teman teman!!
I.B.U
Hari ini adalah hari yang mungkin akan menyenangkan bagiku karena
aku akan belajar di sekolah yang baru dan teman baru. Ya, ternyata benar aku
sekarang memiliki banyak teman baru dan salah satunya adalah seorang santri.
Aku tertarik dengan santri tersebut untuk mengetahui bagaimana rasanya hidup
jauh dari orang tua dan berlatih prihatin di pesantren. Setelah agak lama aku
bertanya-tanya dengan dia, aku jadi ingin juga merasakan bagaimana menjadi
seorang santri, sehingga aku berniat setelah sepulang sekolah aku akan
berbicara dengan ibu untuk mengungkapkan bahwa aku ingin hidup di pesantren.
Sepulang sekolah, aku lekas melepas sepatuku dan masuk ke rumah
serta berteriak
“Ibu!”
”Iya
nak, sudah ibu buatkan kopi.”
“Bukan bu, aku
ingin hidup di pondok pesantren.” Aku duduk disamping kopi buatan ibuku.
“memangnya
kenapa kamu ingin hidup di pondok?”
“tadi di
sekolah aku punya teman baru seorang santri, terus aku bertanya bagaimana
rasanya hidup di pesantren.. katanya, selain jauh dari orang tua kamu bias
berlatih prihatin dan mendapat pendidikan agama.”
“tapi, kiki
yang gagah ini kan belum terbiasa mencuci baju sendiri.”
“ahh, masalah
itu cepat atau lambat pasti akan terbiasa lah Bu.”
“ya sudah,
kamu habiskan dulu kopimu, lekaslah sholat dan setelah itu makan. Soal
pesantren nanti akan ibu pertimbangkan dengan bapak dan kakak-kakakmu.”
Aku segera
menghabiskan kopi hitam itu dan melaksanakan perintah-perintah ibuku. Setelah
itu, aku menyempatkan untuk tidur sebentar menghilangkan penat setelah seharian
beraktifitas di sekolah.
Ketika aku bangun, aku ditanya oleh ibuku
“Apakah kau
sudah mantap, Ki?”
“ya Bu,
keputusanku sudah sangat bulat
“kalau begitu,
nanti kamu dan ibu akan membereskan barang-barangmu. Nanti malam juga, kamu
akan ibu antar bersama keluarga kita.”
“ohh iya ya,
baik bu.”
Hingga sampailah waktu yang kun anti, aku benar-benar
dipasrahkan oleh orang tuaku untuk tinggal di pesantren. Aku diantar oleh
kakak, ibu dan bapakku. Sesampainya di pesantren aku melakukan pendaftaran
terlebih dahului. Setelah pendaftaran selesai, semua keluargaku satu-persatu
memelukku dan pulang. Hal itu membuat air mataku berjatuhan, tenggorokanku
terasa kering. Tapi, aku mencoba untuk bersabar dan memang harus sabar. Aku
biarkan mereka pergi meninggalkanku.
“lekas tidur
nak, besok pagi bangunlah lebih awal dan memohonlah kepada Allah agar kamu
diberi ketabahan.” Kata ibuku seraya mencium keningku. Aku berbalik badan dan
pergi ke kamar untuk tidur
Keesokan harinya, aku bangun lebih awal sesuai perintah ibuku. Aku
kerjakan sholat dua roka’at kemudian aku memohon kepada Tuhanku persis seperti
apa kata ibuku. Setelah selesai, aku keluar dari kamar.
“Siapa kamu?”
kaget aku. Ketika dihadapanku ada seseorang yang berbadaan tinggi
“tenang, ini aku,
Asngad.” Katanya lirih setelah menghidupkan lampu.
Ternyata
dia adalah pengurus pondok ini, lebih tepatnya adalah lurah pondok yang
terkenal akan kecerdasan dan tata kramanya.
“Kok
matamu merah? Pasti habis nangis ya? Sabar saja dek, lama-kelamaan pasti kamu
akan terbiasa.” Nasihatnya
“Baik, kang.”
Kataku sambil mengingus lender dihidungku.
“yap, sekarang
pergi mengajilah.” Perintahnya dengan tersenyum.
Sejak saat itu, kegiatanku hanya bersekolah dan mengaji. Kalau ada
waktu luang, kadang aku lakukan untuk member kabar tentang keadaanku kepada
keluarga melalui fasilitas ponsel pesantren. Terkadang, sengaja aku sempatkan
untuk mendengarkan lagu-lagu Iwan Fals. Masalah mudik, satu bulan atau bahkan
dua bulan sekali aku wajibkan diriku untuk itu.
Semua hal itu aku lakukan dengan senang hati, aku sudah terbiasa.
Hingga sekarang aku kelas 9 MTs, usiaku telah mencapai 15 tahun. Mungkin karena
aku sudah kelas 9, aku merasa lebih dewasa dan aku mulai mengabaikan
kedisiplinanku, aku telah kenal dengan rokok, tidur larut malam adalah hal yang
lumrah dan aku lebih sering bermain HP pribadiku yang aku bawa secara
diam-diam. Akibatnya aku selalu datang terlambat di sekolah.
Suatu pagi, aku mendapat teguran dari Kang Asngad
“Oalaah kiki!
Kenapa sekarang kamu berubah? Bukannya tambah prihatin, tambah disiplin, malah
jadi seperti itu. Ingat ya, sekarang kamu sudah kelas 9, kamu adalah contoh
bagi adik-adikmu, disini!”
”Berubah
bagaimana,Kang?” tanyaku.
“Kata
teman-temanmu, kamu sering terlambat sekolah. Padahal orang tuamu di rumah
sudah bersusah payah mencari nafkah untukmu lho, agar kamu jadi bocah yang
soleh dan membanggakan.” Jelas Kang Asangad dan aku hanya mengangguk dan
menundukan kepalaku.
“Tuh kan,
orang yang salah pasti akan takut, sudah sana berangkat sekolah!”
“tapi kang,
sekarang sudah jam 7 tepat. Aku sudah terlambat dan mungkin aku akan dihukum
guruku lagi.”
“sudah, tidak
usah banyak alasan!”
Akupun
langsung berlari menuju sekolah karena takut terlambat lagi. Dalam hatiku aku
berharap agar tidak ada yang melihat keterlambatanku. Tapi semuanya sia-sia,
aku sudah terlambat dan guruku memarahiku.
“Kiki!! Ini
sudah yang ke berapa kali? Nanti akan aku buat surat panggilan untuk orang
tuamu.”
“Tapi, Bu..”
“Tetap akan
aku berikan, sekarang kamu push up 25 kali dan masuklah ke kelas!”
Di kelas, aku
berfikir apa yang akan aku katakana kepada orang tuaku. Saat itu, tidak satu
pun pelajaran yang aku dengarkan. Aku hanya memikirkan Ibu yang akan
memarahiku. Sampai tak terasa bel berbunyi, tanda aku sudah boleh pulang.
Tidak lama setibanya aku di pesantren, Ibu mengirim sms.
“Kiki, kamu
punya masalah apa di sekolah? Jawab!”
“Memangnya ada
apa Bu?” balasku.
“Ibumu ini
mendapat surat panggilan dari BK. Sejak dari kakak-kakakmu bersekolah, baru
kali ini ibu mendapat surat semacam ini.”
“Ma’af Bu, aku
minta ma’af.”
“Baik, tenang
saja.. Besok Ibu dengarkan penjelasanmu.”
Sejak saat sms
itu aku baca sms dari Ibuku, aku diselimuti kebimbangan dan penyesalan. Aku
merenung dan terus merenung semua tindakanku.
Keesokan harinya, aku agak ragu untuk berangkat sekolah. Bukan
karena sudah terlambat, namun rasa takut karena akan bertemu dengan ibuku.
sadar atau tidak, aku telah mencoreng nama orang tuaku. Tiba-tiba Kang Asngad
datang menghampiriku.
“Ki, kok kamu
belum berangkat? Nanti telat lagi lho..”
“Ini kang,
nanti orang tuaku akan datang ke sekolah memenuhi panggilan dari BK. Aku jadi
takut untuk berangkat. Menurut njenengan bagaimana, Kang? Aku sangat bingung.”
“Tenang Ki,
seorang ibu pasti akan memaafkan kesalahan anaknya. Yang penting, anaknya mau
berubah.” Kata kang asngad sambil memegang bahuku
“Tapi kang,
apa yang harus aku katakan?”
“Berkatalah
dengan jujur, pasti akan mendatangkan kebaikan. Menurutku, lebih baik kamu
sekarang tidak usah bawa HP ke pondok, nanti titipkan saja ke Ibumu. Sekarang
berangkatlah.”
“Ide bagus
kang.” Aku pura-pura tersenyum.
Kang Asngad
memang figure yang baik, dia bisa menjadi sosok orang tua, kadang juga bias
menjadi sosok teman bagiku. Namun, aku tidak tahu bagaimana cara dia mengetahui
bahwa aku membawa HP ke pondok. Peduli amat, sekarang aku tidak khawatir lagi,
ternyata disana-sini dan dimana-mana banyak orang-orang yang menyayangiku, aku
saja yang menjadi mbanggel, mungkin akibat aku tidak bisa
memanfaatkan HP dengan baik. Hingga tibalah aku di sekolah, aku langsung masuk
ke kelas. Tidak lama kemudian, guru BK ku dating
“Kiki, ikut
ibu ke ruang BK”
“Hayoo..
hayoo..” Sahut teman-teman menakutiku
Akupun berjalan menuju ruang BK dengan kresek berisikan HP,
walaupun aku sudah mendapat solusi dari Kang Asngad namun aku masih melangkah
ragu. Hingga tibalah aku aku di ruang BK, disana Ibuku ternyata sudah datang
dan ngobrol ngalor-ngidul dengan wali kelasku.
“silahkan
jelaskan semuanya pada ibumu.” Kata wali kelasku
“Ki, apa bener
kamu sering terlambat sekolah? Jelaskan padaku mengapa bisa begitu!”
Aku duduk disamping Ibuku dan memegang tangannya
“Maafkan aku
Bu, aku sering terlambat karena banyak hal buruk dari diriku. Salah satunya
adalah sering mainan HP. Jadi, aku memutuskan untuk serahkan saja pada Ibu.”
Kataku sambil memberikan kresekku
“Apa lebih
baik kamu pulang saja dari pesantren? Di rumah kamu lebih terkontrol.” Kata Ibu
“….” Aku
hanya menggeleng
“Kamu ngga tau
pengorbanan Ibu dan bapakmu ya? Setiap hari mencari uang tanpa lelah dan
berharap anaknya di pesantren akan menjadi anak yang rajin, malah begini yang
kamu balas.” Kata ibu
Aku pun tak
bisa membendung air mataku
“Maaf Bu..
Maaf..”
“Baiklah, tapi
kamu harus berubah mulai dari sekarang ya.” Kata Ibu sambil mengelus kepalaku
“Insya Allah
Bu, aku pasti berubah, aku baru mengerti ternyata kasih sayang yang ibu berikan
tak terhitung besarnya.” Kataku sambil mengusap air mata yang mengalir di
pipiku.
“Ya sudah,
sekarang Kiki mau berubah, besok jangan terlambat lagi ya.” Kata guruku
“Iya Bu..”
Akhirnya aku dan ibuku keluar dari ruang BK dan aku mengantarkan
Ibuku sampai pintu gerbang sekolah, aku tak henti-hentinya mengucapkan kata
maaf pada ibu. Hingga saat ibu mau pulang, aku jabat tangan Ibu dan ku ciumi
tangannya.
Setelah itu aku masuk kelas dan mengikuti peelajaran sampai bel
tanda pulang sekolah berbunyi. Aku berjalan menuju pesantren tidak sabar ingin
mengucapkan terima kasih kepada Kang Asngad, orang yang selalu perhatian
kepadaku, selalu menasehatiku dan orang yang selalu membantu masalahku.
Dalam perjalanan, aku berjanji pada diri sendiri, untuku
memperbaiki sikapku, akan aku buang kata-kata “Kiki cerewet”, “Kiki bandel”,
“Kiki pahlawan kesiangan” dan saat itu juga aku menyanyi kecil lewat mulutku
sebuah lagu Iwan Fals yang berjudul Ibu..
“Ribuan kilo
jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah... penuh nanah
Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu...ibu”
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah... penuh nanah
Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu...ibu”
Tak terasa aku sudah tiba di depan mulut pesantren, aku ingin
menangis rasanya.. betapa bengalnya aku. Aku berubah pikiran untuk tidak
bertemu Kang Asngad dulu. Aku langsung masuk ke kamar, ku lempar tasku dan ku
lanjutkan nyanyiku.
“Ingin kudekat
dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas...ibu...ibu....
Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu...ibu”
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas...ibu...ibu....
Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu...ibu”
Aku benar-benar menangis. TAMAT!!
NB: Bhehee,
apik ya? Ngapurane tulisane, tanda bacane karo kabehane akeh kekurangane..
Maturnuwun wis dolan, kanca-kancane tidoki ya..
No comments:
Post a Comment