Thursday 11 August 2022

Kita adalah Arjuna, Bukan Werkudara.

 

Sore itu cuaca kota Solo sedang cerah namun sejuk. Para pengendara motor berlalu-lalang memasuki gang untuk kembali ke rumah mereka masing-masing. Dari sekian banyak bangunan yang membanjar, terlihat Seno—mahasiswa pedalangan yang kini menginjak semester tiga, sedang duduk melamun di atas balkon indekosnya. Ia bahkan belum berganti setelan yang dipakai untuk kuliah; celana pensil, kemeja, lengkap dengan ransel di punggungnya. Kaca mata bulat di wajahnya memantulkan sorot senja.  Rambut ikalnya bergoyang pelan tertiup angin. Memang, Seno ini terkenal sebagai seseorang yang menyukai panorama candhikala.

Akhir-akhir ini Seno terlihat seperti kehilangan semangat belajarnya. Entah karena begitu rumitnya seni pertunjukan wayang bagi seseorang yang baru mengenalnya, atau mungkin Seno baru saja memasuki titik jenuh. Yang jelas, meskipun terbiasa sendiri, baru kali ini nuansa jiwa laki-laki berbadan kurus itu merasakan sepi. Hampa tanpa gairah, tidak semangat tapi tidak juga ingin menyerah.

Ketertinggalannya di dunia Pedalangan dibandingkan teman-teman sekelas, sebenarnya sudah cukup mewanti-wanti Seno agar terus mempelajari wayang. Akan tetapi, greget untuk belajar seperti musnah begitu saja. Padahal biasanya setiap pulang dari kampus, Seno selalu mengulas kembali materi yang ia dapat. Namun sudah dua minggu ini, jangankan membuka laptop, melepas pelukan ransel merah marun dari punggung saja, beratnya sudah terasa seperti harus mengangkat kotak wayang.

Matahari sebentar lagi tenggelam. Satu hal yang membangunkan Seno dari lamunan adalah bunyi perut yang meminta makan. “Lapar? Aku harus makan.” Ucapnya dalam batin. Laki-laki berambut ikal itu seketika bangkit dari duduknya, lalu berdiri membelakangi sinar mentari.

“Bentar, Sen. Kenapa manusia itu bisa merasa lapar? Bisa merasa haus? Bukannya kita setiap hari mulut kita senantiasa dimasuki nasi dan air putih ya? Kok bisa lapar lagi?” Seno berdiskusi dengan bayangannya.

“Iya juga, ya? Kenapa makan dan minum enggak cukup sekali seumur hidup aja, ya?” jawabnya sendiri, seolah-olah bayangannya yang menanggapi.

“Ohh kayak HP yang perlu dicas kali ya, lapar itu peringatan bahwa tenaga tubuh sudah waktunya diisi kembali.”

Seno mengajak bayangannya berjongkok seakan diskusinya masuk ke sesi yang lebih serius.

“Nah! Kenapa tubuh kita ini cuma bisa medeteksi kehabisan tenaga, tapi ga bisa mendeteksi kehabisan semangat, ya? Coba aja bisa kayak gitu, pasti aku bisa semangat terus kuliahnya.”

“Bentar-bentar, Sen. Lah kehampaan yang kita rasain ini bukanya secara nggak sadar udah ngasih tau kalo gairah kita mulai menipis? Terus emang mau gimana ngecas semangatnya? Kalo lapar kan makan, nah kalo greget kita suwung gimana?”

Ngeeeng. Tinnn tinnn. Suara hiruk-pikuk motor semakin menjadi seiring gelap langit menyelimuti.

“Oalah! Pulang! Kembali ke rumah, kembali ke titik awal.” Seno seperti mendapat wangsit tepat setelah melihat pengendara motor yang terjebak macet.

“Maksudnya pulang, kembali ke titik awal itu gimana?”

“Ya kita cari tahu lagi, alasan-alasan kenapa kita mau kuliah di Jurusan Pedalangan. Aku ingat waktu awal semester dua kemarin pas ikut seminar Ki Purbo Asmoro tentang betapa berharganya wayang. Sepulang dari situ, semangatku untuk menyelami dunia pedalangan semakin menjadi.”

“Ohh iya aku inget, aku inget. Ide-ide gila kita tentang memperkenalkan wayang ke generasi milenial juga sering kali mekar setelah ngobrol dengan Mas Nanang Hape, ya?

“Bener bangett, berarti semangat itu emang harus selalu diisi ya, Sen? Kayak makan, kayak minum. Kita makan tiga kali sehari itu bukan karena rakus, tapi emang karena kita butuh. Jadi, kalo kita sok-sokan ikut seminar juga bukan berarti pengetahuan di kelas ga cukup. Kita srawung ngobrol masa depan wayang juga bukan karena kita si paling ahli.”

“Wah hahaha, jangan-jangan kita salat lima waktu sehari itu juga esensinya agar kita terus mengecas dua kalimat syahadat, ya?”

“Hahaha kalo itu mah hanya Gusti Allah yang tau, Sen senn.. Tapi bisa jadi sihh.”

“Lah, berarti Wayang Arjuna juga gitu kali ya. Dia sering ke hutan, bertapa itu bukan karena dia maruk akan wahyu, haus akan kesaktian. Tapi justru itu lah cara Arjuna untuk tetap ingat kewajibannya sebagai manusia untuk menjalankan dharma. Karena nggak semua orang itu seperti Werkudara, sekali doang bertemu Dewa Ruci langsung dapet makna Kasampurnaning Dumadi.

“Eh belum tentu. Siapa tau setelah Baratayuda, sebenarnya Werkudara masih terus bertapa agar tetap konsisten menjalankan dharma. Cuman sama Pak Dalang enggak di-lakon-kan saja hahaha.”

“Wkwk masuk akal sih. Tapi yang jelas kamu aneh. Nama Seno, tapi soal ngecas semangat pake cara Janoko hahaha”. Seno mengela napas panjang “Haaaaaaaaah. Makasih ya, Sen, udah mau berdiskusi sama diri kamu sendiri.”

“Hahaha anytime. Kalo suatu saat kamu ngerasa hampa, feel free buat ngobrol sama aku. Yaudah sono mandi terus makan!”

“Yeee siapa elu nyuruh-nyuruh.”

“Laah gua kan elu hahaha”

“Hahaha yaudah yaudah, dadaaaah” Seno berdiri, tersenyum dan melambaikan tangan ke bayangannya sendiri.

Tiba-tiba pengendara motor yang meneriaki sembari melintas di samping Seno waktu baru putus dahulu lewat lagi. “Gila! Dulu wayangan di atas motor, sekarang malah ngomong sama bayangan.”

No comments:

Post a Comment