Monday 19 April 2021

Janturan Seno

 

Di depan meja yang menghadap jendela, mulut Seno berkomat-kamit seperti mengucap mantra. Sebuah naskah wayang kulit terhampar di atas meja burjo (warung makan yang mulanya menjajakan bubur kacang ijo). Rupanya Seno sedang berusaha menghafal janturan—semacam prolog dalam pewayangan yang menjadi materi ujian akhir semester di kampusnya. Saking konsentrasinya, kopi hitam pekat yang dipesannya 20 menit lalu pun mendingin tanpa sedikit tersenggol oleh jemarinya. Sementara di belakang Seno, ada tiga orang duduk melingkar memainkan game online bersama atau kerap disebut mabar.

"Swuh rep data pitana hanenggih negari pundi ta kang kaeka adhi dasa purwa. Eka ateges sawiji, adhi linuwih, dasa sepuluh, purwa wiwitan." Lirih Seno seakan dia sedang mendalang di depan kelir—kain putih sebagai layar dalam pertunjukan wayang kulit.

Perlahan tangan kanan Seno meraba meja hingga akhirnya sampai pada cangkir yang berisikan kopi. Srupuuutt.. "Ahhhh senadyan kathah titahing dewa ingkang kasongan ing akasa, kasangga ing pratiwi, lan kaapit ing samudra, kathah ingkang samya anggana raras." Imajinasi Seno semakin menjadi. Kini ia bak dalang dengan busana kejawen lengkap. Lupa sudah bahwa sesungguhnya ia duduk di burjo pertigaan jalan itu.

Tak lama berselang sinar lampu motor matic menembus kaca jendela dan menabrak wajah Seno. Imajinasinya buyar seketika, ia mengerutkan dahi berusaha melihat siapa pengendara sepeda motor itu. Lampu redup, motor berparkir persis di depan jejaka dengan kaca mata itu. Gelak tawa bersautan seiring dilepasnya helm. Tawa yang tidak asing dan benar dia adalah Dewi, gadis primadona kampus yang sempat meluluhlantahkan hati Seno tempo hari. Debar jantung mahasiswa semester dua itu coba diredakan dengan kopi namun usahanya percuma. Dewi tidak sendiri, ia bersama kekasihnya, Tio.

Sementara Dewi belum menyadari keberadaan mantan gebetannya itu, Seno bergegas menghabiskan kopi dan pergi membayar ke kasir. Hanya ada canggung dan siksaan di dalam batin Seno jika ia memilih untuk tetap duduk di Burjo, boro-boro menghafal naskah.

"Kopi hitam satu, Mas. Berapa?" Gugup Seno sembari meraba saku

"2.500 aja, Mas." Jawab pelayan burjo yang tadinya juga hanyut dalam game di ponselnya.

"Ini, Mas." Seno menaruh selembar uang 2000 dan koin 500 di atas meja kasir

"Yap, makasih, mas!"

Ketika Seno hendak berbalik, Dewi sudah berdiri tepat di belakangnya. Rambutnya terurai, matanya berbinar dengan masker yang diturunkan sampai ke dagu.

"Lho.. Mas Seno." Dewi mengulurkan tangan hendak bersalaman

"Hehe iya.. Eh aku duluan ya." Seno meraih tangan Dewi yang menggunakan kutek merah muda. Dingin sudah sekujur tubuhnya, semua persendian yang ada pada tubuhnya pun melemas seiring melepasnya dua tangan itu.

Di belakang Dewi ada Tio yang sedari tadi memerhatikan gerak-gerik Seno.

"Ehh Tio, duluan ya." Pamit Seno tanpa bersalaman, ia lebih memilih mengamankan naskahnya yang tergeletak dan menutup lembar yang tadi dibukanya. Tio sendiri hanya mengeluarkan mimik senyum sinis, hanya mengangkat bibir bagian kanan dan sedikit menegadahkan kepala tanda berkata: Iya.

Tanpa ragu Seno menancapkan kontak motor, mengenakan helm, dan bergegas mengendarainya. Tak lupa ia melempar klakson sebagai pamit yang terakhir, entah dibalas atau tidak pamitnya itu, langaung saja dia tancap gas. Rasa cemburu, canggungnya pun perlahan berjatuhan seiring menjauhnya motor Seno. Ia sengaja mengambil jalan memutar, berharap semua ingatan tentang Dewi ikut berjatuhan. Jalanan yang tidak terlalu ramai membuat Seno berani menarik gas sampai pada kecepatan 90 km/ jam. Maklum, saat itu waktu menunjukan pukul 11 malam.

Setelah kurang lebih 1 kilometer Seno memacu sepeda motornya, dengan mendadak ia menarik tuas rem dan melipir. Ia berjalan ke tengah jalan, rupanya memungut botol air minelar yang membahayakan pengguna jalan. Lagi-lagi tindakannya itu mengantar Seno pada sebuah kenanagan. Sore itu Seno yang hendak mengantar Dewi pulang dari berlatih menari di kampus menghentikan laju motornya. Kampas rem yang sudah tipis membuat motornya mengeluarkan suara bak bunyi anak burung, ciiiiiit.

"Loh, kok berhenti, Mas?" Heran Dewi

Seno tidak menjawab, ia bergegas turun tanpa melepas helm lalu memungut batu berukuran bola kasti di tengah jalan lantas melemparnya ke pinggir.

Dewi tersenyum "Halaah, modusnyaa biar bisa lama-lama mboncengin aku, nih hihi."

"Wuuu, iya juga sih hahaha" balas Seno

"Tuh kan hahaha" Dewi menyambung tertawa

Seno seperti melihat bayangannya sendiri bersama gadis dengan rambut bergelombangnya. Entahlah, terlihat senyum kecil di wajahnya itu. Ia membuang botol mineral ke tempat sampah terdekat lalu duduk di atas motornya. Tanganya santai merogoh saku, bukan kontak motor yang diambil namun bungkus rokok bersama korek berwarna putih. Seno mengambil satu batang rokoknya yang memang tinggal satu, dinyalakan, lalu dihisap sembari meremas bungkus yang kosong itu. Keluarlah kepulan asap dari mulut Seno. Ia memejamkan matanya agak lama. Ketika kelopak mata di balik kaca itu terbuka, muncul kembali Seno bersama Dewi di depannya. Kali ini Seno memang sengaja ingin memutar kembali ingatannya itu. Barangkali setelah upaya untuk lupa selalu tidak berhasil, siapa tahu mencoba untuk menerima masa lalu dan berdamai akan membuahkan hasil.

 

 

"Udah, Wi? Pegangan ya, aku mau ngebut nih." tanya bayangan Seno kepada bayangan Dewi

"Hihii nggak mau wlee." Ejek Dewi

"Hmmm baiklah." Pasrah Seno, Ia menarik gas dan menjalankan motornya dengan kecepatan 20 km/ jam, pelan sekali.

"Wuiih kencangnyaa hahaha." Pekik Dewi seraya merentangkan kedua tangan

Seno tersenyum, lalu menunduk seakan ia adalah pembalap moto GP.

"Gimana? Aku udah kaya Cristiano Ronaldo belum?"

"Ih apaan sih, Mas. Hahaha Ronaldo bukan pembalap ya."

"Oh iya hahaha. Dia dalang ya wi?

"Mulai, nih, mulai.."

"Ki Stiano Ronaldo hahaha."

"Hahahaha Mas.. Mas.. Ehh hafalanmu gimana, Mas? Aku tes ya, biar aku koreksi dari foto naskah yang kamu kirim kemarin."

"Ehh iya bener Wi, tolong dibantu ya."

Tangan Dewi mengambil handphone di tas yang dipangkunya dan langsung mencari foto yang ia maksud. Sementara Seno senyam-senyum menatap Dewi dari balik spion, menikmati bening mata Dewi yang berbinar memantulkan cahaya dari HP, beberapa helai rambutnya pun menari diterpa angin. Ia berharap rumah dewi berjarak 100 kilometer lagi.

"Yeay udah ketemu, Mas. Ayo hafalin." Dewi memberi tahu Seno, diamatinya setiap naskah yang ada pada layar handphonenya. Tanpa sadar Dewi pun meletakan kepalanya di punggung Seno dengan menghadap ke layar. Tangan kirinya mulai melingkari pinggang Seno. Ah, Seno kaget tapi tetap mencoba tenang, jantungnya berdegup hebat tapi tetap ia coba redakan.

"Aa.. a.. aku mulai nih Wi, Swuh rep data pitana hanenggih negari pundi ta ingkang kaeka hadi dasa purwa..."

Dekapan Dewi bagai pelumas pelicin otak Seno, sepanjang jalan hampir tidak ada kesalahan dalam hafalan Seno. Namun Ia sedih ketika persimpangan menuju rumah Dewi mulai terlihat. Jalan raya seperti memendek sejak gadis lucu itu mendaratkan kepalanya. Kalau ada jalan lain yang lebih jauh, tentu Seno akan memilih jalan itu.

Janturan yang dihafal Seno habis tepat 10 meter sebelum sampai di depan rumah Dewi. Sedangkan gadis yang diboncengnya itu segera mengangkat kepalanya dan menaruh hp kembali ke dalam tas. Tangan kirinya pun perlahan lepas dari pinggang Seno. Hati lelaki itu benar-benar ikut terambil saat itu juga. Apalagi Dewi tak henti-henti memuji dan meberi semangat Seno perihal hafalannya, yang mana Seno sendiri tahu ia masih terbata-bata dalam mengucapkan kalimat-kalimat berbahasa jawa dalam janturan itu. Wajar, Seno sama sekali tidak memiliki pengalaman banyak di dunia pedalangan. Ia baru sekali mempelajari pedalangan saat masuk ke kampusnya.

Sampailah mereka berdua di depan rumah Dewi. Terlihat di teras rumah ada Pak Surip dan Tio sedang mengobrol. Seno yang dari tadi berbunga-bunga seketika gugup. Kebetulan Pak Surip-- bapak dari Dewi adalah dosen pedalangan di kampus. Berbeda dengan Tio, lambatnya penyesuian Seno dalam menangkap pembelajaran di kelas membuat ia memiliki jarak keakraban dengan Pak Surip. Seno mematikan motornya dan mengikuti Dewi turun berjalan menuju Pak Surip. Dua sejoli itu bergantian bersalaman dan mencium tangan Bapak berkaus putih itu. Seno tak bisa melawan rasa gugupnya dan segera pamit. Terlebih raut wajah Pak Surip sudah menandakan ketidaksukaannya.

"Nggih sampun, Pak. Badhe pareng rumiyin.." pamit Seno

"Iya iya, hati-hati." jawab Pak Surip

"Makasih ya, Mas Seno, hati-hati." teriak Dewi.

"Inggih." Seno mengiyakan.

Seno berbalik menjauhi teras rumah dosennya, namun saat ia sudah berdiri di samping motor, Pak Surip berteriak datar

"Seno, besok tidak usah antar jemput putriku lagi, biar Nak Tio saja, kamu tekuni dulu belajarmu, kejar ketertinggalanmu."

"Bapak.." potong Dewi

Seno terkejut tapi tidak terlalu, karena ia sudah menduganya. Kendati sakit, ia tetap memakai helm yang sudah diraihnya. Ia berbalik dan mengangguk

"Enggih, Pak." Segera ia menaiki motornya, tangannya gemetar menancapkan kunci motor, lalu segera memacunya pelan.

Sepanjang perjalanan, Seno mencoba menina-bobokan hatinya dengan pemikiran tidak semudah itu Dewi akan melupakannya. Sesampainya ia di indekos yang tidak terlalu jauh dari rumah Dewi, ia bergegas memarkirkan motornya lalu melesat menuju kamar. Betapa lega hatinya setelah menerima pesan Whats App dari Dewi "Maafin bapakku ya, Mas."

"Iya tak apa Wi." balas Seno, dan ternyata balasan itu adalah chat terakhirnya dengan Dewi.

Hari ke hari Tio semakin akrab dengan Dewi. Sempat sekali, dua kali, Seno memergoki mereka berdua sedang berpamitan dengan Pak Surip ketika ia lewat depan rumahnya. Seno tak berpikir sampai intensitas kebersamaan Tio bersama Dewi perlahan akan mengalihkan dirinya. Ingin rasanya Seno mengajak Dewi untuk bertemu, namun trauma menghantuinya. Bagaimana tidak? Ekspektasi obrolan seru melalui handphone hancur ketika Pak Suriplah yang mengangkat panggilan Seno itu. Wal hasil, Seno hanya bisa memantau kabar Dewi dari cerita-cerita melalui story akun media sosialnya.

Hanya perlu dua minggu untuk Tio menggantikan posisi Seno di hidup Dewi. Dukungan dari Bapaknya Dewi benar-benar menguntungkan Tio. Desas-desus Tio yang berhasil berpacaran dengan anak dosen pun menyebar. Keadaan itu sungguh membuat kuliah Seno tidak nyaman. Hingga tibalah dimana saat Seno membuka handphonenya dan melihat story milik Dewi. Terlihat wajahnya yang masih lucu sedang berswafoto bersama Tio. "Terima kasih" adalah dua kata keterangan di foto itu yang membuat sayatan di hati Seno semakin menjadi. Bahkan selama Seno dekat dengan Dewi, tak sekalipun ia berani mengajaknya berfoto. Saat itu juga Seno mantap untuk menjauh dari kehidupan Dewi meski hatinya masih tertinggal.

 

Nostalgia selesai. Seno tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. Dimatikan bara api diujung rokoknya itu, lantas membuangnya ke tempat sampah bersama bungkus yang sedari tadi diremas. Duduk Seno yang tadinya menyamping, kini sudah bersiap menghadap ke depan untuk melesatkan motornya itu. Sesuatu yang ajaib terjadi, kepala motor Seno yang selama ini ia tempel stiker wayang Punokawan Semar tiba-tiba mengeluarkan cahaya. Bergeraklah wayang dengan badan berikut pantatnya yang besar melebihi kepalanya itu. Semar berjalan keluar dan berdiri di kepala motor dan menghadap Seno.

"Aaeeeeeh... Lae.. Lae.. Mblegegek ugek-ugek, sadulita hemel-hemel. Seno, sing uwis ya wis. Sing mbok lakokne kuwi bener, Kabeh sing wis kelakon kuwi gak bisa dilalekne lan diowahne. Kabeh sing wis kelakon kuwi namung bisa ditampa kanti iklas. Pak Surip lak sampun ngendika ben awakmu fokus sinau. Eiiih sapa ngerti nek awakmu wis dadi pinter, Pak Surip seneng, banjur lila nek Dewi sinandhingan karo awakmu."

(Ciri khas wayang Semar sebelum memulai percakapan. Seno, yang sudah biarlah sudah. Yang kamu lakukan baru saja itu benar. Semua yang sudah terjadi itu tidak bisa dilupakan dan digantikan. Semua yang sudah dilakukan itu hanya bisa diterima dengan ikhlas. Bukannya Pak Surip sudah berkata agar kamu fokus belajar. Siapa tahu kalau kamu sudah pintar, Beliau suka, lalu rela jika Dewi berdampingan denganmu)

 

"Gila, ada dalang wayangan di atas motor! Hahaha" teriak pemuda yang melintas di samping Seno yang seketika membuyarkan Semar menjadi seperti kunang-kunang. Rupanya Semar adalah proyeksi dari imajinasi Seno sendiri. Lelaki berkacamata itu tersadar dan tersenyum geli. Kini ia tidak sabar untuk segera sampai di indekos lalu menyelesaikan hafalannya.

No comments:

Post a Comment