Sore
itu Nimas nampak cemas menunggu gerimis reda. Ia berjalan mondar-mandir di
ruang tamu rumahnya, sesekali mengintip rintik air dari balik kaca. Terlihat ia
sudah mengenakan setelan jarik, kebaya merah, lengkap dengan sanggul di atas
kepalanya. Rupanya Nimas bersiap untuk melesat ke pentas wayang kulit di
kecamatan sebelah. Meski kesal, sinden berusia 21 tahun itu terus menyugesti
dirinya agar tidak membenci hujan. Nimas pun duduk menarik napas dalam-dalam
dan memutar playlist lagu Sheila on 7
untuk menenangkan moodnya. Ia meraih
cermin di dalam tas untuk memastikan kembali kestabilan make up di wajahnya. Samadyane
(tengah-tengah), Nimas tidak suka apabila wajahnya sampai terlihat pucat, namun
tidak suka juga jika berdandan terlalu menor. Ia pun kembali memoles bibirnya
dengan lipstick merah, membuka lebar kelopak mata hingga jelas softens abu miliknya.
"Sempurna!"
Nimas tersenyum sembari menutup cermin bulat miliknya.
Gerimis
pun berhenti. Nimas segera mengenakan jaket, kacamata, dan masker untuk melindungi make up-nya. Sementara tinggi sanggul hanya bisa ia jaga dengan kain selendang.
"Ibu,
Nimas berangkat!" Nimas menurunkan masker dan berteriak pamit.
"Lho,
emang hujannya udah reda?" tanya Ibu Nimas yang sedang menyetrika baju di
ruang tengah.
"Udah,
Bu, Nimas pamit yaa, Assalamu'alaikum!" Ia memasang masker kembali menutup
hidung dan mulutnya.
"Ya
sudah, wa'alaikumsalam, jangan ngebut-ngebut!"
Nimas
berangkat mengendarai sepeda motor matic miliknya. Beruntung jalan tidak
terlalu ramai sebab baru saja diguyur hujan. Ia sengaja sedikit menurunkan
masker untuk menikmati semerbak aroma tanah sehabis hujan. Sinden muda itu pun
sampai di tempat tujuan tepat sesuai jam yang sudah disepakati, dua jam sebelum
pementasan.
Tak
lama berselang teman Nimas sesama sinden muda, Puspa juga sampai di lokasi. Hanya
saja, ada pemandangan yang kontras dari mantan jawara sinden kota itu. Tak
seperti biasanya, Puspa yang selalu lengket dengan kekasihnya, Rehan, naik
ojek. Betapa paras Puspa yang cantik itu harus berkurang karena wajahnya yang
cemberut. Nimas tanggap, namun ia enggan menanyakan perihal kisah asmara
temannya. Gadis bertubuh ideal itu hanya berjalan kecil dengan langkah yang
terbatas oleh kain jarik ke arah Puspa.
"Hai
Puspaa! Wah, lama enggak ketemu." Nimas memanggil seraya merentangkan
kedua tangan.
"Aaaa,
Nimass!!" Puspa mendekap kawannya erat-erat.
Melalui
pelukan itu, Nimas seakan langsung memahami bahwa teman sepanggung sekaligus
seperkuliahannya itu sedang tidak baik-baik saja. Ya, meskipun mereka begitu
dekat, sudah hampir 2 tahun intensitas kebersamaan mereka memudar. Sifat
bucin—begitu sebutan anak zaman sekarang,
antara Puspa dan Rehan lah yang perlahan mengenyampingkan posisi Nimas sebagai
sahabat. Meski begitu, Gadis yang banyak menghabiskan waktu sendiri itu selalu
mengulurkan tangan setiap Puspa membutuhkannya.
"It's okay, Pus. It's okay.. Kita penuhin dulu kewajiban kita sebagai sinden, ya?"
bisik Nimas sembari mengelus punggung sahabatnya.
Puspa
hanya tersendu dan tidak menjawab. Sementara bapak ojek tadi langsung pergi
setelah sedari tadi sibuk mengkonfirmasi orderan dari penumpang lain.
"Mari,
Mba sinden.." pamit ojek seraya membunyikan klakson.
"Eh
iya, terima kasih sudah mengantar temanku, ya, Pak."
Ojek
dengan setelan serba biru itu pun menjauh seirama dengan lepasnya dekapan
Puspa.
"Hehe
Gapapa.. Gapapa.. Udah agak
mendingan kan? Yaudah yuk, Pus, kita
siap-siap, wayangannya sudah mau
mulai"
Puspa
mengangguk sedikit tersenyum, menghela napas panjang lalu menghembuskannya
"Makasih, ya, Nim"
Sinden
yang dianggap kembar meskipun tidak terlalu mirip ini berjalan ke arah panggung
dan siap untuk menjalankan tugasnya menjadi vokal dalam iringan wayang. Selama
pertunjukan, Puspa bisa tersenyum bahkan sesekali tertawa menyimak lakon yang
dibawakan oleh Ki Dalang. Bagi Nimas, itulah keistimewaan temannya. Walaupun
suasana hati sedang kurang baik, Puspa selalu bisa tampil profesional di atas
panggung. Satu persatu penonton yang memadati sekitar panggung pun perlahan
pulang seiring larutnya malam. Hingga akhirnya sekitar pukul 3 dini hari, Ki Dalang
'tancep kayon' sebagai tanda
berakhirnya lakon yang dikisahkan.
“Nim,
minta tolong antar aku ke rumah, ya?” pinta Puspa
“Boleh,
tapi nanti isi amplopmu itu 20% untukku.. enak aja gratis.” sahut Nimas
bercanda
“Ah
aku jalan kaki aja kalau begitu.”
Puspa
pun beneran berjalan dengan Nimas di
belakangnya sambil menuntun sepeda motor (Yaa enggak dong woy!) Nimas mengamini
permintaan Puspa untuk mengantarnya. Meskipun itu pukul setengah empat pagi,
pos demi pos ronda warga di sepanjang Kecamatan Guyub itu selalu menghadirkan
rasa aman. Apalagi Nimas dan Puspa adalah pelaku seni tradisi, mereka seakan
memiliki kehormatan khusus sebagai pelestari kesenian adiluhung oleh setiap
warga. “Hati-hati di jalan ya, Mbak” “Lho enggak nunggu agak subuh dulu
pulangnya?” basa-basi itu silih berganti mengantarkan mereka berdua pulang.
Di
tengah perjalanan menuju rumah Puspa, Nimas mulai memancing obrolan agar
sahabatnya berkenan untuk bercerita. Ia sendiri sudah merasakan betapa bahaya
jika unek-unek pikiran ditimbun tanpa pernah mau diceritakan.
“Pus,
weh, keren lho kamu bisa tetap nyindhen seperti enggak terjadi
apa-apa.” puji Nimas
“Lha
memang ga terjadi apa-apa, kan, hehe?” jawab Puspa sembari membuka kaca helm.
Nimas
melambatkan laju motornya agar lebih nyaman “Terus kenapa tadi sore ‘tukang
ojek’ kamu ganti jadi bapak-bapak, haa? Haha pake meluk kencang segala”
“Haaaaah.”
Puspa menghembuskan napas “Begitu syulit
lupakan Rehan, Nim.”
“Bhahaha
apalagi Rehan itu baik?” Nimas dan Puspa kompak tertawa
“Ahahaha
jadi begini, Nim….”
Seketika
cerita mengenai hubungan asmara Rehan-Puspa menemani perjalanan pulang mereka.
Nimas nampak sedikit terkejut mengetahui fakta tersebut. Namun, ke-receh-annya yang spontan sesekali mampu
membuat Puspa tertawa meski berlinang air mata. Tanpa terasa mereka berdua
sampai di depan pagar rumah Puspa yang berwarna hijau.
Mantan
jawara sinden kota itu turun dari motor sahabatnya dengan senyum lega.
“Ohh
ya wajar kalau kamu sesedih ini. Pasti rasanya shock campur sedih gitu,
ya?” Nimas memvalidasi perasaan kawannya.
“Iya
Nim, pokoknya, cape banget rasanya.”
“Iya
aku tau kok rasanya hehe”
“Oya
astaga! Maaf banget ya, Nim. Waktu itu kamu lagi galau tapi aku malah enggak
ada buat kamu. Soalnya..”
“…Soalnya
kalian lagi di fase bucin hahahaha..
enggak apa-apa, memang fase kalian lagi di situ”
“Hahaha
iya iya maaf banget ya, jadi gimana perasaanmu sekarang? Are you okay? Kita masih bisa motoran lagi kok sambil ngobrol”
“Ahahaha
emang kamu nggak ngantuk apa? Yes I am
okay, kok, Pus. Makasih udah nanyain.”
“Ehh
beneran, Nim? Kalau bohong aku teriak ‘jepaang!’ nih?
“Bahhaha
ada akua? Santai.. Santai.. aku sudah berdamai, kok. Masa muda kurang lengkap
kalau enggak merasakan sakit hati, ya, kan?”
“Kenapa
polanya mesti sering begini, ya, Nim? Saat aku butuh tempat cerita, kamu ada.
Tapi pas kamu yang butuh teman ngobrol, aku malah enggan menyempatkan waktu.
Maafin aku ya, Nim. Maaf..” Puspa meminta maaf sambil meraih tangan Kawannya
“Lah
kamu memperhatikan pola itu juga? Hihihi begini begini, anggap aja Tuhan itu
sayang banget sama kamu, Pus. Ini mungkin seakan kebetulan, tapi saat kamu
butuh tempat menyampaikan unek-unek itu, ndilalah
saat aku sedang free. Jadi ya anggap
aja kebetulan, okay?”
“Tuhan
pilih kasih, dong?”
“Noo! Tuhan juga sayang aku, kok. Cuma mungkin
beda cara dan beda waktu saja. Yaudah aku pulang dulu ya, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.
Hati-hati ya, Nim. Sekali lagi terima kasih.”
“Iya
iya.. satu.. dua.. tiga..” aba-aba Nimas sembari memutar arah motor
Puspa:
Jepaang! Hahaha
Nimas:
Begitu syuliit.. Hihihi
“Yahh
nggak kompak hehehehe atiati woy!”