Monday 15 August 2022

MUTUAL BENEFIT: TAKE AND GIVE! HANYA PUNOKAWAN YANG TAHU

 

Malam hari pada sebuah kamar indekos 2x3 meter itu, terdengar suara desing kipas angin yang menemani rakaat terakhir Salat Isya Seno. Ketebalan debu yang menyelimuti baling-baling dan kawat-kawat cover, seakan memberi tahu bahwa Seno cukup jarang membersihkan kipas anginnya.

“Assalamu’alaikum warahmatullah..” ucap Seno seraya menoleh ke kanan, kemudian menoleh ke kiri dengan ucapan yang sama. Kedua tangan Seno bersatu lalu membasuh wajahnya sendiri dengan berkah salat. Ia sigap mematikan putaran kipas angin yang sedari tadi menghempas-hempaskan pengharum ruangan di bawahnya.

“Cteek!” suara tombol kipas angin itu layaknya gong yang mengakhiri desing sang kipas. Rupanya laki-laki berambut ikal itu ingin khusyuk merapal wirid sehabis salat.

Setelah selesai memanjatkan doa, Seno meraih dan memakai kacamatanya. Ia bangkit sembari melipat sajadah hijau yang sejak tadi menjadi alas. Dibukanya kancing demi kancing baju koko sehingga terlihat jelas kaus hitam yang dikenakan oleh Seno. Seperti sudah disiapkan sebelumnya, Seno langsung meraih ransel merah marun miliknya. Ia keluar dari kamar dan mengunci pintunya. Seakan tergesa, Seno segera menuruni tangga dan menaiki sepeda motornya. Dengan setelan sarung oranye serta kaus hitamnya, Seno mantap melesat persis setelah menutup pintu gerbang.

Singkat cerita, Seno sampai pada sebuah kontrakan berwarna krim. Rupanya ia sudah janjian dengan Vian—teman sekelas Seno, untuk ­numpang belajar sabetan (macam-macam gerak wayang) perang. Suara kibar sarung mengiringi langkah kaki Seno memasuki kontrakan kawannya itu. Dia melihat ujung tangga, di mana setelahnya Seno bisa menemukan kamar Vian. Kilas balik perkenalan dua mahasiswa pada masa ospek Jurusan Pedalangan. Laki-laki dengan rambut gondrong nan keriting itu mendatangi Seno yang sedang tenggelam pada buku panduan studi kampusnya.

“Dor! Kamu Seno, ya?” tanya Vian sembari menepuk bahu Seno, sementara laki-laki lulusan SMK teknik mesin itu hanya diam meskipun ia sudah sadar.

Sepuluh detik berlalu, Seno tersenyum dan menjawab “Eh kaget, eh kaget.”

“Telaaat, Sen, telaaat hahaha.” Vian tertawa. “Kenalin, aku Vian Atmojo, kamu bisa panggil aku Vian. Salam kenal, ya.. Feeling-ku kok kamu aneh ya, dari tadi diem di pojok sendirian.. Kalo pengin berak, bilang dong.” lanjut Vian sembari menguncir rambut keritingnya.

“ Hahaha orang laper kok malah dikira pengin berak”

“Oalah kebetulan banget nih aku bawa pizza, mau ngga?” Vian mengulurkan tangannya.

“Yee ini mah Pempek Palembang, yaudah kalo dipaksa.” sahut Seno seraya meraih bungkus plastik berisikan pempek beserta kuahnya.

Agak aneh memang. Meskipun pertama kali bertemu, mereka bisa langsung akrab seperti dua saudara. Entah karena Seno yang merasa satu frekuensi, atau entah memang Vian yang mudah bergaul. Yang jelas, mereka berdua resmi menemukan teman pertamanya di perkuliahan. Seno menceritakan latar belakangnya yang baru pertama kali nyemplung di dunia pedalangan. Sementara Vian, walaupun ayahnya orang Jakarta dan Ibunya orang Palembang, ia sudah lebih dahulu mengenal wayang sejak masih kelas 4 SD. Kakek Vian lah yang selama ini mengenalkannya dengan kesenian masyarakat Jawa itu. Maka tidak heran jika sekarang Vian seolah menjadi guru privat bagi Seno.

            Seno pun selesai menaiki tangga dan masuk ke kamar Vian. Terlihat temannya yang semakin gondrong dan mulai tumbuh brewok itu sedang berpura-pura tidur di atas kasur lantai berwarna biru.

“Ahh ini wayang-wayangnya buat aku bawa pulang ya, Mas Vian Atmojo” ganggu Seno. Vian pun sigap menutupi wayang-wayangya yang menumpuk pada eblek (tempat meletakan wayang yang terbuat dari bambu) berbalut kain warna merah. Sedangkan Seno hanya tersenyum kecil melihat candaan temannya yang hobi sekali mengonsumsi pempek dan susu kedelai itu. Vian lantas meraih dua figur wayang Aswatama dan Gathutkaca.

“Jadi gini, lho, Sen, pelajaran pertama yang harus dikuasai dalam gerak wayang itu cara pegang wayang.” tunjuk Vian dengan Gathutkaca yang gagah di tangan kanannya. Seno pun meraih Aswatama dari tangan kiri Vian lalu menirukannya.

“Nah! Gagang yang kita pegang ini tuh namanya gapit.” lanjut Vian. Tanpa basa-basi, les gerak wayang pun langsung dimulai. Seno pun menurut saja karena baru mengetahui betapa pentingnya teknik memegang wayang sebelum bisa menggerakannya.

            Tak terasa waktu sudah berlalu selama 2 jam. Sedikit tapi berarti, kini Seno pun mulai luwes memegang gapit wayang.

“Jadi intinya itu, Sen, kalo pegang wayang, tangan kita jangan kaku.”

“Oalahh inggih sendika, Kakang Vian Atmojo.” jawab Seno menggunakan nada bicara Gatutkaca

Vian tersenyum mendengar temannya yang perlahan juga mempelajari suara-suara figur wayang. “Nah makanya kan ada orang bilang, sebetulnya dalang lah yang mengikuti gerak wayang, definisi lemes ya itu.”

“Ohh paham. Paham. Kalau aku memaksakan gerak wayang dengan jariku, malah kesannya kaku, ya, Yan?” tanya Seno sembari meletakan Aswatama dan Gathutkaca kembali ke eblek

“Nahh benerr.”

“Wahh makasih banyak ilmunya, loh, Yan.” Seno menepuk bahu kawannya. Ia meletakan kacamata dan mengambil bungkus rokok di dalam tasnya.

“Ini aku kalo kursus di mana gitu pasti udah bayar ini, Yan” Seno menyalakan rokok.

“Halah halah kayak sama siapa loh, Sen” respon Vian sembari mengehembuskan asap rokok. Laki-laki dengan badan berisi itu rupanya sudah dari tadi menyalakan rokok filter.

“Eh beneran, kenapa kamu ga bikin kursus aja? Lumayan loh” Seno terbesit ide

“Biar take and give, to?”

“Iyaa, kamu dapet imbalan dari apa yang kamu berikan, seimbang, bukan?”

“Menarik sih, tapi enggak dulu, deh”

Seno menghisap rokok dalam-dalam lalu menghembuskan asap lewat mulutnya “Hmm, kamu berarti kaya Punokawan, Yan”

“Wah ini, wah ini. Kok bisa?” selama ini Vian memang selalu antusias saat Seno mencoba-coba menyambungkan kisah wayang dengan kehidupan yang ia amati.

“Punokawan itu kan dia give sama Pandhawa. Semar, Gareng, Petruk, Bagong, mereka ga punya hubungan darah tapi kok mau-maunya ngemong mereka? Babysitter itu lho dibayar, Yan.” tafsir Seno memaknai kontekstualisme wayang yang seakan sudah seperti bakat terpendamnya itu.

“Lah iya juga, gaji Semar berapa tuh per bulan? Petruk si Hidung Panjang, upahnya udah UMR Kerajaan Amarta belum, ya? Hahaha iya iya iya mulai masuk akal, Sen.”

“Nah makanya itu, Kalo dari kisahnya kan emang Bathara Ismaya tuh dihukum untuk jadi Semar, katakanlah itu takdir lah ya, Yan. Tapi takdir itu kan vertikal, urusan Semar dan Dewa. Hubungan Semar dan Pandhawa itu sesama manusia, ranahnya beda.”

“Hahahahaha ngeselin juga ya misal Bapakku udah kerja di kantor, tiap akhir bulan isi amplopnya cuma tulisan: Terima kasih, Pak. Ingatt, kerja Anda di sini itu sudah takdir. Pihak kantor tidak berkewajiban memberi gaji. Hahahaa kamprett kok kamu bisa kepikiran sih, Sen?”  

“Tuh kannn, Yan? Padahal kalo kita perhatikan lebih dalam lagi, ada sesuatu yang harus mendapat apresiasi lebih di dalam ‘jasa ngemong’ yang dilakukan Punokawan.” Seno mengajak Vian untuk semakin hanyut bersama pemikirannya

“Hah? Maksudnya?” Vian masih bingung

“Iyaa, di dalam ‘jasa ngemong-nya Semar itu ada attitude, ada sikap yang luar biasa yaitu: tanggung jawab, dedikasi, kesabaran, dan masih banyak lagi. Tanpa attitude itu, Semar bisa aja mogok ketika dimintai tolong untuk mengiringi langkah Arjuna ke hutan.”

“Oalaahh iya juga ya Sen. Skill tanpa attitude itu juga ga berarti apa-apa, ya? Ohh iya-iya, makanya kalo di Manchester United itu ada pemain yang dicadangkan hanya karena attitude-nya jelek. Padahal mainnya nggak jelek-jelek amat.” Vian paham dengan penerapannya ke sepak bola.

“Nahhh, jadi begitu Mas Vian sang Punokawanku. Hehehehe” Seno menyelesaikan hisapan terkahir, lalu mematikan rokoknya ke asbak.

“Hahaha...Heeeeeeh... Laae... Laee... Bisa aja kamu ya Ndara Seno..” Vian menirukan nada bicara Semar.

“Ehh, tapi kan aku, selain mungkin karena udah takdir, aku mau ngajarin kamu sabetan karna aku suka rela, aku seneng sama tekad kamu pengin belajar wayang.” Nada bicara Vian kembali ke semula.

“Ohh berarti gini, Yan. Jasa belajar sabetan yang kamu lakukan ke aku itu mungkin memang bukan Take and Give, tapi Give and Happy. Karena kata Mas Nanang Hape tuh, hidup selain menerima dan memberi, ada kalanya saat seseorang hanya memberi dan itu membuatnya hepii. Dengan harapan ‘pemberiannya’ itu bisa bermanfaat untuk kebersamaan. Jadi kalo dapet take-nya ya disyukuri, kalo enggak ya enggak apa-apa” jelas Seno.

“Ohh iya iya, aku inget kalimat Beliau tentang itu, tuh. Nah sekarang gini, Sen. Pola pikir orang kan macem-macem tur bisa terpengaruh keadaan emosional dan lingkungannya. Jadi mungkin banget dong enggak semua orang itu berbuat baik karena mereka memiliki motivasi Give and Happy?”

“Oh hooh, iya, Yan. Mungkin banget ituu, terus?”

“Pertanyaanku adalah Punokawan yang berjasa ngemong itu tadi, motivasinya termasuk Take and Give, atau Give and Happy hayoo?” tanya Vian

“Woahaha kalo itu ya jelas hanya Punokawan yang tau.”

Seno dan Vian tertawa bersama-sama.

No comments:

Post a Comment