Thursday 29 September 2022

BEGITU SYULIT LUPAKAN REHAN~


Sore itu Nimas nampak cemas menunggu gerimis reda. Ia berjalan mondar-mandir di ruang tamu rumahnya, sesekali mengintip rintik air dari balik kaca. Terlihat ia sudah mengenakan setelan jarik, kebaya merah, lengkap dengan sanggul di atas kepalanya. Rupanya Nimas bersiap untuk melesat ke pentas wayang kulit di kecamatan sebelah. Meski kesal, sinden berusia 21 tahun itu terus menyugesti dirinya agar tidak membenci hujan. Nimas pun duduk menarik napas dalam-dalam dan memutar playlist lagu Sheila on 7 untuk menenangkan moodnya. Ia meraih cermin di dalam tas untuk memastikan kembali kestabilan make up di wajahnya. Samadyane (tengah-tengah), Nimas tidak suka apabila wajahnya sampai terlihat pucat, namun tidak suka juga jika berdandan terlalu menor. Ia pun kembali memoles bibirnya dengan lipstick merah, membuka lebar kelopak mata hingga jelas softens abu miliknya.

"Sempurna!" Nimas tersenyum sembari menutup cermin bulat miliknya.

Gerimis pun berhenti. Nimas segera mengenakan jaket, kacamata, dan masker untuk melindungi make up-nya. Sementara tinggi sanggul hanya bisa ia jaga dengan kain selendang.

"Ibu, Nimas berangkat!" Nimas menurunkan masker dan berteriak pamit.

"Lho, emang hujannya udah reda?" tanya Ibu Nimas yang sedang menyetrika baju di ruang tengah.

"Udah, Bu, Nimas pamit yaa, Assalamu'alaikum!" Ia memasang masker kembali menutup hidung dan mulutnya.

"Ya sudah, wa'alaikumsalam, jangan ngebut-ngebut!"

Nimas berangkat mengendarai sepeda motor matic miliknya. Beruntung jalan tidak terlalu ramai sebab baru saja diguyur hujan. Ia sengaja sedikit menurunkan masker untuk menikmati semerbak aroma tanah sehabis hujan. Sinden muda itu pun sampai di tempat tujuan tepat sesuai jam yang sudah disepakati, dua jam sebelum pementasan.

Tak lama berselang teman Nimas sesama sinden muda, Puspa juga sampai di lokasi. Hanya saja, ada pemandangan yang kontras dari mantan jawara sinden kota itu. Tak seperti biasanya, Puspa yang selalu lengket dengan kekasihnya, Rehan, naik ojek. Betapa paras Puspa yang cantik itu harus berkurang karena wajahnya yang cemberut. Nimas tanggap, namun ia enggan menanyakan perihal kisah asmara temannya. Gadis bertubuh ideal itu hanya berjalan kecil dengan langkah yang terbatas oleh kain jarik ke arah Puspa.

"Hai Puspaa! Wah, lama enggak ketemu." Nimas memanggil seraya merentangkan kedua tangan.

"Aaaa, Nimass!!" Puspa mendekap kawannya erat-erat.

Melalui pelukan itu, Nimas seakan langsung memahami bahwa teman sepanggung sekaligus seperkuliahannya itu sedang tidak baik-baik saja. Ya, meskipun mereka begitu dekat, sudah hampir 2 tahun intensitas kebersamaan mereka memudar. Sifat bucin—begitu  sebutan anak zaman sekarang, antara Puspa dan Rehan lah yang perlahan mengenyampingkan posisi Nimas sebagai sahabat. Meski begitu, Gadis yang banyak menghabiskan waktu sendiri itu selalu mengulurkan tangan setiap Puspa membutuhkannya.

"It's okay, Pus. It's okay.. Kita penuhin dulu kewajiban kita sebagai sinden, ya?" bisik Nimas sembari mengelus punggung sahabatnya.

Puspa hanya tersendu dan tidak menjawab. Sementara bapak ojek tadi langsung pergi setelah sedari tadi sibuk mengkonfirmasi orderan dari penumpang lain.

"Mari, Mba sinden.." pamit ojek seraya membunyikan klakson.

"Eh iya, terima kasih sudah mengantar temanku, ya, Pak."

Ojek dengan setelan serba biru itu pun menjauh seirama dengan lepasnya dekapan Puspa.

"Hehe Gapapa.. Gapapa.. Udah agak mendingan kan? Yaudah yuk, Pus, kita siap-siap, wayangannya sudah mau mulai"

Puspa mengangguk sedikit tersenyum, menghela napas panjang lalu menghembuskannya "Makasih, ya, Nim"

Sinden yang dianggap kembar meskipun tidak terlalu mirip ini berjalan ke arah panggung dan siap untuk menjalankan tugasnya menjadi vokal dalam iringan wayang. Selama pertunjukan, Puspa bisa tersenyum bahkan sesekali tertawa menyimak lakon yang dibawakan oleh Ki Dalang. Bagi Nimas, itulah keistimewaan temannya. Walaupun suasana hati sedang kurang baik, Puspa selalu bisa tampil profesional di atas panggung. Satu persatu penonton yang memadati sekitar panggung pun perlahan pulang seiring larutnya malam. Hingga akhirnya sekitar pukul 3 dini hari, Ki Dalang 'tancep kayon' sebagai tanda berakhirnya lakon yang dikisahkan.

“Nim, minta tolong antar aku ke rumah, ya?” pinta Puspa

“Boleh, tapi nanti isi amplopmu itu 20% untukku.. enak aja gratis.” sahut Nimas bercanda

“Ah aku jalan kaki aja kalau begitu.”

Puspa pun beneran berjalan dengan Nimas di belakangnya sambil menuntun sepeda motor (Yaa enggak dong woy!) Nimas mengamini permintaan Puspa untuk mengantarnya. Meskipun itu pukul setengah empat pagi, pos demi pos ronda warga di sepanjang Kecamatan Guyub itu selalu menghadirkan rasa aman. Apalagi Nimas dan Puspa adalah pelaku seni tradisi, mereka seakan memiliki kehormatan khusus sebagai pelestari kesenian adiluhung oleh setiap warga. “Hati-hati di jalan ya, Mbak” “Lho enggak nunggu agak subuh dulu pulangnya?” basa-basi itu silih berganti mengantarkan mereka berdua pulang.

Di tengah perjalanan menuju rumah Puspa, Nimas mulai memancing obrolan agar sahabatnya berkenan untuk bercerita. Ia sendiri sudah merasakan betapa bahaya jika unek-unek pikiran ditimbun tanpa pernah mau diceritakan.

“Pus, weh, keren lho kamu bisa tetap nyindhen seperti enggak terjadi apa-apa.” puji Nimas

“Lha memang ga terjadi apa-apa, kan, hehe?” jawab Puspa sembari membuka kaca helm.

Nimas melambatkan laju motornya agar lebih nyaman “Terus kenapa tadi sore ‘tukang ojek’ kamu ganti jadi bapak-bapak, haa? Haha pake meluk kencang segala”

“Haaaaah.” Puspa menghembuskan napas “Begitu syulit lupakan Rehan, Nim.”

“Bhahaha apalagi Rehan itu baik?” Nimas dan Puspa kompak tertawa

“Ahahaha jadi begini, Nim….”

Seketika cerita mengenai hubungan asmara Rehan-Puspa menemani perjalanan pulang mereka. Nimas nampak sedikit terkejut mengetahui fakta tersebut. Namun, ke-receh-annya yang spontan sesekali mampu membuat Puspa tertawa meski berlinang air mata. Tanpa terasa mereka berdua sampai di depan pagar rumah Puspa yang berwarna hijau.

Mantan jawara sinden kota itu turun dari motor sahabatnya dengan senyum lega.

“Ohh ya wajar kalau kamu sesedih ini. Pasti rasanya shock campur sedih gitu, ya?” Nimas memvalidasi perasaan kawannya.

“Iya Nim, pokoknya, cape banget rasanya.”

“Iya aku tau kok rasanya hehe”

“Oya astaga! Maaf banget ya, Nim. Waktu itu kamu lagi galau tapi aku malah enggak ada buat kamu. Soalnya..”

“…Soalnya kalian lagi di fase bucin hahahaha.. enggak apa-apa, memang fase kalian lagi di situ”

“Hahaha iya iya maaf banget ya, jadi gimana perasaanmu sekarang? Are you okay? Kita masih bisa motoran lagi kok sambil ngobrol”

“Ahahaha emang kamu nggak ngantuk apa? Yes I am okay, kok, Pus. Makasih udah nanyain.”

“Ehh beneran, Nim? Kalau bohong aku teriak ‘jepaang!’ nih?

“Bahhaha ada akua? Santai.. Santai.. aku sudah berdamai, kok. Masa muda kurang lengkap kalau enggak merasakan sakit hati, ya, kan?”

“Kenapa polanya mesti sering begini, ya, Nim? Saat aku butuh tempat cerita, kamu ada. Tapi pas kamu yang butuh teman ngobrol, aku malah enggan menyempatkan waktu. Maafin aku ya, Nim. Maaf..” Puspa meminta maaf sambil meraih tangan Kawannya

“Lah kamu memperhatikan pola itu juga? Hihihi begini begini, anggap aja Tuhan itu sayang banget sama kamu, Pus. Ini mungkin seakan kebetulan, tapi saat kamu butuh tempat menyampaikan unek-unek itu, ndilalah saat aku sedang free. Jadi ya anggap aja kebetulan, okay?”

“Tuhan pilih kasih, dong?”

Noo! Tuhan juga sayang aku, kok. Cuma mungkin beda cara dan beda waktu saja. Yaudah aku pulang dulu ya, Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam. Hati-hati ya, Nim. Sekali lagi terima kasih.”

“Iya iya.. satu.. dua.. tiga..” aba-aba Nimas sembari memutar arah motor

Puspa: Jepaang! Hahaha

Nimas: Begitu syuliit.. Hihihi

“Yahh nggak kompak hehehehe atiati woy!”

No comments:

Post a Comment