Tuesday 25 April 2017

Aku dan Bayu berwang-sinawang

Bayu, namanya Bayu Damar Nyawiji. Sore ketika teman-teman sedang asyik mendengarkan ia bersenandung dengan gitar, tiba-tiba ia bergegas ke muka kontrakan dan melihat matahari berpulang. Bayu lantas menghela nafas panjang dan membakar sebatang rokok untuk mengantar ke perenungannya. Ahh acapkali Bayu membohongi orang sekitar bahwa alasan dia merokok hanya sekadar gaya. Padahal terlihat jelas ketika Bayu melipat asap ke dalam paru-parunya, dia selalu seperti memikirkan sesuatu dan menggelengkan kepala.
Bayu yang sekarang berbeda dengan Bayu beberapa bulan lalu. Bayu yang sekarang lebih banyak terdiam, daripada nyerocosi teman-teman dengan bayolan logika dan bualan kemungkinan. Bayu yang sekarang lebih suka bernyanyi lagu lirih nan galau ketimbang mencakar kuping teman dengan suara membabi butanya. Bayu hari ini benar berbeda dengan Bayu ketika baru diterima kerja.
Wakhid kira Bayu dirundung soal cinta, melihat update sosmed Bayu akhir-akhir ini. Arman sangka Bayu sedang terbebani dengan namanya, apakah dia sudah berhasil menjadi Bayu, angin yang menyejukkan atau Damar, secercak pelita dalam kegelapan. Dan aku sangka memang Bayu sedang berada pada titik jenuhnya.
Hingga ketika jam setengah satu malam aku dan Bayu tiba di kontrakan. Aku ajak Bayu makan, minum kopi dan rokok untuk mengantar kemana saja otak kami ingin pergi. Ohh seketika aku dapat wangsit untuk bernostalgia. Ya, aku, Bayu dan teman-teman dulu satu asrama, dan sekarang kami sama-sama bekerja di satu pabrik yang mempekerjakan buruhnya dalam belenggu shift. Kebetulan aku dan Bayu satu shift, sehingga aku tau betul keseharian Bayu.
"Yu Bayu, inget nda dulu kita mati-matian ngejar nilai rival-rival kita?" Aku mengawali pembicaraan
"Duh.." Bayu tersenyum sambil menggelengkan kepala.
Setelah menyruput kopi hitam prau geni, tanpa disangka Bayu mengabaikan obrolanku. Lebih tepatnya bukan obrolan, Bayu mengabaikan basa-basiku. Karena aku maupun Bayu sudah tau bahwa arah nostalgia adalah untuk bercermin.
"Jadi gini ku aku.. kita dulu punya mimpi bisa jadi wirausahawan, mengembangkan hobbi sebagai hiburan untuk diri sendiri beserta orang lain dan intinya bisa bermanfaat. Tapi ku aku, kalau kita dibelenggu oleh pabrik.. apa bisa?" curhat Bayu.
"Nah itu yu.. itu! Kampung kita jauh disana, terlebih setiap hari kita cuma kerja capek istirahat dan kerja lagi, gimana kita bisa maju?"
"Kita dibelenggu"
"Hmmmm ternyata ngga enak ya kerja ya, gimana kalo kita nekat kuliah aja yu, disana pasti kita bisa berkembang?"
"Kuliah! Kita bisa belajar sastra, sejarah, UKM, hmmm Tapi kau sendiri kan yang bilang hati-hati dengan wang-sianawang."
"Orang melihat hidup kita enak, padahal engga dan sebaliknya. Terlebih lagi ngga mungkin yu, keluarga pasti ngga ndukung, mereka pasti mendoktrin le lee.. toh nanti rampung kuliah yo nyari kerja. Kuliah apa? Sastra? Hmm nantinya mau kerja apa le lee.."
"Tapi aku udah males kerja seperti ini ku aku. Kita masih muda loh!"
"Hahahhah padahal dulu kau semangat benar berangkat kerja ngontel sepeda"
"Alaah kamu juga iya ku."
"Tuhan ngguyu yu bayu, bocah-bocah ini semangat kan karena dulu mereka pikir setelah kerja mereka pasti kuliah."
"Yo wis aku ngantuk nih, pokoknya sabar aja dulu kali ya.. hmmm kerja setahun lagi."
"Tapi kita kok bener-bener pengin kuliah ya."
Kami tidur dan sepakat bahwa apa yang terjadi ini sungguh teka-teki. Hidup itu harus dinamis menjawab pertanyaan-pertanyaan hati. Dan persoalan utama kami ialah mengapa dulu kok kami semangat kerja sekarang males karena ngebet kepengin kuliah? Apa karena membayangkan bahagianya jadi mahasiswa? Apa karena melihat para buruh yang pinjam sana pinjam sini untuk kebutuhan? Kami tau ini sejenis wang-sinawang. Buruh berpikir kuliah enak ya, ngga cape. bebas. Mahasiswa membayangkan kerja enak ya ngga banyak tugas, ohh kerja ngga ada skripsi lagi. Berarti mengerucut lagi, masalahnya kenapa wang-sinawang merubah kita? Yang tadinya semangat jadi malas, dan akhirnya tidak menyukai takdirnya? Hmmm hmmm ngantuk. Bersambung~

No comments:

Post a Comment