Sunday 25 July 2021

Kritik Jurnalistik: Wayang Urban Ki Nanang Hape, agar wayang bisa dipahami oleh banyak generasi

Haloo pembaca yang budiman! tulisan ini adalah tugas Ujian Tengah Semester mata kuliah Kritik Pedalangan Institut Seni Indonesia Surakarta. Ketimbang cuma mengendap di folder dokumen laptop, mending saya publikasikan di sini sebagai konten 'dibuang sayang'. Barangkali bisa menjadi contoh kann hehe

Oiya, matur sembah nuwun atas ilmunya, Bapak Dr. Sugeng Nugroho, S.Kar., M.Sn selaku dosen pengampu mata kuliah.

Well, happy reading, everyone!

Kritik Jurnalistik

Wayang Urban Ki Nanang Hape, agar wayang bisa dipahami oleh banyak generasi

WAYANG URBAN sajian Ki Nanang Hape menjadi penutup rangkaian acara Hari Wayang Dunia ke V di Institut Seni Indonesia Surakarta. Sajian tersebut dilaksanakan pada tanggal 6 November 2019 di Pendapa GPH. Jaya Kusuma Institut Seni Indonesia Surakarta.

Wayang Urban adalah ruang proses ekspresi wayang lintas displin seni. Lakon wayang dikisahkan dalam balutan dongeng, musik, tari, dan teater. Melalui Wayang Urban, Ki Nanang Hape ingin melakukan aksi konkret agar wayang benar-benar mendunia dan bisa dikenal oleh semua kalangan. Dengan sajian yang lebih variatif serta elemen-elemen pembangun yang modern, maka besar kemungkinan nilai yang ada dalam wayang bisa lebih mudah ditangkap oleh penonton.

            Lakon yang disajikan pada malam tersebut adalah Drupadi. Pengisahan lakon tidak dilakukan seperti pertunjukan wayang kulit pada umumnya yang menjelaskan secara detail setiap lini masa. Kisah Drupadi dalam Wayang Urban ditekankan pada nilai-nilai yang terdapat pada kisahnya, seperti: cinta, bakti kepada orang tua, dan perhatian lebih atau kefokusan.

            Kisah tentang Drupadi dimulai dari sayembara di Pancala untuk mengangkat busur panah. Dikisahkan Arjuna bisa memenangkan sayembara tersebut atas nasihat Kresna bahwa memanah itu bukan soal kekuatan dan ketepatan, melainkan perhatian penuh. Meski Arjuna yang memenangkan sayembara, namun yang menikahi Drupadi adalah Puntadewa. Hal ini karena Pandawa lebih mengutamakan nilai berbakti kepada Ibu.

            Cerita berlanjut dan melompat pada perjudian antara Pandawa dan Kurawa. Diceritakan bahwa Pandawa saat itu kalah dan terpaksa harus kehilangan Kerajaan Indraprastha beserta isinya, termasuk Drupadi. Selain itu, Pandhawa juga harus menjalani hukuman pengasingan selama 13 tahun di hutan.

Sejak pertunjukan dimulai, penonton yang didominasi oleh pemuda-pemudi sudah sangat antusias. Hal ini dikarenakan nama Ki Nanang Hape yang sudah di kenal sebagai dalang yang serba bisa dan mudah membaur. Selain itu, setelah serangkaian pertunjukan wayang kulit disajikan di acara Hari Wayang Dunia V, Wayang Urban dianggap sebagai penutup pertunjukan wayang yang segar. Sehingga tak ayal apabila pendapa ISI Surakarta penuh saat itu.

 

Bentuk Pertunjukan

Bentuk sajian Wayang Urban sangat berbeda dengan pertunjukan wayang kulit konvensional. Akan tetapi, salah satu hal yang menarik adalah Ki Nanang Hape tetap menggunakan talu sebelum cerita dimulai. Talu di sini menggunakan alat musik kibor dan ketipung.

Komposisi pertunjukan didominasi oleh sejumlah nomor lagu karya Ki Nanang Hape. Alat musik yang digunakan pun menggunakan alat musik modern, seperti: Kibor, Bas, Gitar, Biola, dan Drum. Namun, Ki Nanang Hape menjelaskan kendati menggunakan alat musik modern, namun pola pemukulan drum pada salah satu lagunya menggunakan pola kendhangan kosek ladrang dari kenong kedua.

Pengisahan dalam Wayang Urban juga berbeda dengan pertunjukan wayang kulit konvensional. Selain karena menggunakan bahasa Indonesia, Wayang Urban tidak mengisahkan secara rinci setiap adegan yang dimainkan. Apabila dalam pertunjukan wayang kulit secara konvensional kita hanya menonton alur cerita dan banyak mengambil pelajaran sesuai pemahaman pribadi, maka yang dilakukan dalam Wayang Urban adalah menceritakan sedikit fragmen adegan dan memberitahu pelajaran apa saja yang terdapat di dalamnya dan penjelasan-penjelasan yang jarang diceritakan dalam pertunjukan wayang kulit konvensional.

Kepiawaian Ki Nanang Hape bisa dikatakan berhasil menghipnotis penonton untuk hanyut dalam cerita. Hal ini karena memang pekerjaan mendalang tak ubahnya dengan pekerjaan mendongeng. Lagu-lagu yang dibawakan oleh Ki Nanang Hape juga berperan sebagai suluk dalam pertunjukan wayang kulit konvensional. Sehingga pengalaman rasa suasana pun masih bisa dihadirkan.

Pada pertengahan sajian, Wayang Urban juga diselingi dengan pertunjukan tari dari Diklat Tari Anjungan Jawa Timur Taman Mini Indonesia Indah yang diiringi dengan musik Banyuwangi oleh Komunitas Arjasura. Tarian tersebut menceritakan bagaimana kekacauan yang terjadi selama perjudian antara Kurawa dan Pandawa berlangsung. Sekali lagi, kecerdasan Ki Nanang Hape menyutradarai sajian tersebut, dalang yang juga alumni Institut Seni Indonesia Surakarta ini memasukan unsur teatrikal. Ki Nanang Hape menanyakan bagaimana persepsi perjudian dari sudut pandang Duryudana, Puntadewa, dan Drupadi. Setelah itu ditampilkan monolog Cucuk Suhartini sebagai perempuan yang menanggapi eksploitasi terhadap Drupadi. Sehingga penonton pun langsung bisa menangkap bahwa inti dari cerita pertunjukan tersebut adalah tentang perempuan.

 

Dampak Pertunjukan Wayang Urban terhadap wayang

            Kehadiran Wayang Urban tentu membawa dampak bagi perkembangan wayang di Indonesia. Bagi penonton yang selama ini asing dan jauh dari wayang akan lebih mudah mengambil nilai-nilai luhur yang selama ini dibawa oleh wayang. Ki Nanang Hape sendiri menyadari bahwa bahasa merupakan kendala utama bagi para penonton awam. Sehingga dalam dekade terakhir ini Ki Nanag Hape terus bereksplorasi bagaimana menyampaikan nilai dalam wayang tanpa menggunakan kelir. Wayang Urban bukanlah karya non kelir Ki Nanang Hape yang pertama. Beliau sempat menulis buku Dalang Goes to Twitter yang berisikan puisi kisah wayang.

Wayang Urban juga menjadi bukti nyata bahwa wayang bisa membaur dengan berbagai disiplin seni. Ki Nanang Hape berhasil menampik stigma kebanyakan orang bahwa wayang adalah kesenian yang kuno. Pertunjukan wayang yang terkesan monoton nyatanya bisa digubah menjadi dongeng musikal yang ciamik. Hal ini tentu memungkinkan bahwa suatu hari nanti wayang juga bisa berkolaborasi dengan seni film, seni kartun, dan seni dalam bentuk digital.

Bagi pegiat seni wayang konvensional, keberedaan Wayang Urban bisa menjadi jembatan yang menghubungkan dalang wayang konvensional dengan penonton. Ketika penonton awam berhasil ditarik dengan nilai-nilai yang ada pada wayang melalui Wayang Urban, maka bukan mustahil pada perkembangannya mereka akan tertarik untuk mengulik bentuk wayang konvensional. Sehingga ketertarikan tersebut akan memberikan panggung bagi pegiat seni wayang konvensional.

Dyan Mega Wigati, mahasiswa jurusan tari Institut Seni Indonesia Surakarta merasa cukup puas dengan sajian pertunjukan Wayang Urban. Mega mengakui bahwa Wayang Urban merupakan solusi bagi penonton seperti dia yang terkendala oleh bahasa pedalangan. Meski ISI Surakarta memiliki prodak pertunjukan wayang bahasa Indonesia (Wayang Sandosa), namun kolaborasi yang disajikan kurang semenakjubkan pertunjukan Wayang Urban.

Mega mengutarakan bahwa sajian pertunjukan Wayang Urban selalu memiliki kejutan seni apa yang akan ditampilkan pada setiap adegannya. Hanya saja mahasiswa asal Blitar ini merasa perpaduannya terlalu didominasi oleh lagu-lagu dan terkesan tidak proporsional. Satu hal yang membuat Dyan Mega betah duduk menyimak dongeng Ki Nanag Hape adalah penekanan nilai dan maksud pada alur cerita wayang. Hal ini dikarenakan apabila Mega menonton pertunjukan wayang kulit konvensional, selain bahasa, dia hanya bisa menyaksikan alur cerita dan mengambil nilai-nilai sesuai interpretasinya sendiri.

Berdasarkan tanggapan dari Dyan Mega, maka tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa wayang adalah tontonan orang-orang yang mau berpikir. Hal ini dikarenakan kebanyakan penikmat wayang kulit itu sebenarnya sudah hafal cerita wayang yang disajikan, sehingga yang ditonton pada saat itu bukanlah cerita wayangnya, melainkan cerminan kehidupannya pada cerita tersebut. Penonton wayang konvensional harus bisa menangkap nilai dan pelajaran yang ada dalam cerita tanpa harus dijelaskan oleh dalang dalam pertunjukan tersebut.

Selain harus berpikir, penonton wayang dituntut untuk bersabar. Hal ini tentu bertolak belakang dengan zaman sekarang yang terkesan serba instan, to the point atau berterus terang. Sehingga penonton generasi muda seperti Dyan Mega akan lebih memilih pertunjukan seperti Wayang Urban yang menekankan nilai apa yang ingin disampaikan. Apabila pegiat wayang masih berpegang pada kalimat wayang adalah tontonan bagi orang terpilih, maka bagimana mungkin orang-orang terpilih tersebut akan semakin banyak. Imbasnya adalah panggung-panggung pertunjukan wayang pun semakin sedikit dan berdampak pada kesejahteraan seniman itu sendiri.

Oleh karena itu, eksplorasi dan penemuan-penemuan baru terhadap pertunjukan wayang seperti Wayang Urban harus diperhatikan dan dikembangkan. Wayang Urban berhasil membuat wayang meninggalkan ‘adiluhung’ menurut perspektif orang terdahulu menuju ‘adiluhung’ sesuai zamannya. Sehingga wayang pun bisa diterima oleh berbagai kalangan. (Akhmad Rifqi Mu’awam 18123123)

No comments:

Post a Comment