Haloo pembaca yang budiman! tulisan ini adalah tugas Ujian Tengah Semester mata kuliah Kritik Pedalangan Institut Seni Indonesia Surakarta. Ketimbang cuma mengendap di folder dokumen laptop, mending saya publikasikan di sini sebagai konten 'dibuang sayang'. Barangkali bisa menjadi contoh kann hehe
Oiya, matur sembah nuwun atas ilmunya, Bapak Dr. Sugeng Nugroho, S.Kar., M.Sn selaku dosen pengampu mata kuliah.
Well, happy reading, everyone!
Kritik Jurnalistik
Wayang Urban Ki
Nanang Hape, agar wayang bisa dipahami oleh banyak generasi
WAYANG URBAN sajian Ki Nanang Hape menjadi
penutup rangkaian acara Hari Wayang Dunia ke V di Institut Seni Indonesia
Surakarta. Sajian tersebut dilaksanakan pada tanggal 6 November 2019 di Pendapa
GPH. Jaya Kusuma Institut Seni Indonesia Surakarta.
Wayang Urban adalah ruang proses ekspresi
wayang lintas displin seni. Lakon wayang dikisahkan dalam balutan dongeng,
musik, tari, dan teater. Melalui Wayang Urban, Ki Nanang Hape ingin melakukan
aksi konkret agar wayang benar-benar mendunia dan bisa dikenal oleh semua
kalangan. Dengan sajian yang lebih variatif serta elemen-elemen pembangun yang
modern, maka besar kemungkinan nilai yang ada dalam wayang bisa lebih mudah
ditangkap oleh penonton.
Lakon
yang disajikan pada malam tersebut adalah Drupadi. Pengisahan lakon tidak
dilakukan seperti pertunjukan wayang kulit pada umumnya yang menjelaskan secara
detail setiap lini masa. Kisah Drupadi dalam Wayang Urban ditekankan pada
nilai-nilai yang terdapat pada kisahnya, seperti: cinta, bakti kepada orang
tua, dan perhatian lebih atau kefokusan.
Kisah
tentang Drupadi dimulai dari sayembara di Pancala untuk mengangkat busur panah.
Dikisahkan Arjuna bisa memenangkan sayembara tersebut atas nasihat Kresna bahwa
memanah itu bukan soal kekuatan dan ketepatan, melainkan perhatian penuh. Meski
Arjuna yang memenangkan sayembara, namun yang menikahi Drupadi adalah
Puntadewa. Hal ini karena Pandawa lebih mengutamakan nilai berbakti kepada Ibu.
Cerita
berlanjut dan melompat pada perjudian antara Pandawa dan Kurawa. Diceritakan
bahwa Pandawa saat itu kalah dan terpaksa harus kehilangan Kerajaan
Indraprastha beserta isinya, termasuk Drupadi. Selain itu, Pandhawa juga harus
menjalani hukuman pengasingan selama 13 tahun di hutan.
Sejak pertunjukan dimulai, penonton yang
didominasi oleh pemuda-pemudi sudah sangat antusias. Hal ini dikarenakan nama
Ki Nanang Hape yang sudah di kenal sebagai dalang yang serba bisa dan mudah
membaur. Selain itu, setelah serangkaian pertunjukan wayang kulit disajikan di
acara Hari Wayang Dunia V, Wayang Urban dianggap sebagai penutup pertunjukan
wayang yang segar. Sehingga tak ayal apabila pendapa ISI Surakarta penuh saat
itu.
Bentuk Pertunjukan
Bentuk sajian Wayang Urban sangat berbeda
dengan pertunjukan wayang kulit konvensional. Akan tetapi, salah satu hal yang
menarik adalah Ki Nanang Hape tetap menggunakan talu sebelum cerita dimulai.
Talu di sini menggunakan alat musik kibor dan ketipung.
Komposisi pertunjukan didominasi oleh
sejumlah nomor lagu karya Ki Nanang Hape. Alat musik yang digunakan pun
menggunakan alat musik modern, seperti: Kibor, Bas, Gitar, Biola, dan Drum.
Namun, Ki Nanang Hape menjelaskan kendati menggunakan alat musik modern, namun
pola pemukulan drum pada salah satu lagunya menggunakan pola kendhangan kosek ladrang dari kenong
kedua.
Pengisahan dalam Wayang Urban juga berbeda
dengan pertunjukan wayang kulit konvensional. Selain karena menggunakan bahasa
Indonesia, Wayang Urban tidak mengisahkan secara rinci setiap adegan yang
dimainkan. Apabila dalam pertunjukan wayang kulit secara konvensional kita
hanya menonton alur cerita dan banyak mengambil pelajaran sesuai pemahaman
pribadi, maka yang dilakukan dalam Wayang Urban adalah menceritakan sedikit
fragmen adegan dan memberitahu pelajaran apa saja yang terdapat di dalamnya dan
penjelasan-penjelasan yang jarang diceritakan dalam pertunjukan wayang kulit
konvensional.
Kepiawaian Ki Nanang Hape bisa dikatakan
berhasil menghipnotis penonton untuk hanyut dalam cerita. Hal ini karena memang
pekerjaan mendalang tak ubahnya dengan pekerjaan mendongeng. Lagu-lagu yang
dibawakan oleh Ki Nanang Hape juga berperan sebagai suluk dalam pertunjukan
wayang kulit konvensional. Sehingga pengalaman rasa suasana pun masih bisa
dihadirkan.
Pada pertengahan sajian, Wayang Urban juga
diselingi dengan pertunjukan tari dari Diklat Tari Anjungan Jawa Timur Taman
Mini Indonesia Indah yang diiringi dengan musik Banyuwangi oleh Komunitas
Arjasura. Tarian tersebut menceritakan bagaimana kekacauan yang terjadi selama
perjudian antara Kurawa dan Pandawa berlangsung. Sekali lagi, kecerdasan Ki
Nanang Hape menyutradarai sajian tersebut, dalang yang juga alumni Institut
Seni Indonesia Surakarta ini memasukan unsur teatrikal. Ki Nanang Hape
menanyakan bagaimana persepsi perjudian dari sudut pandang Duryudana,
Puntadewa, dan Drupadi. Setelah itu ditampilkan monolog Cucuk Suhartini sebagai
perempuan yang menanggapi eksploitasi terhadap Drupadi. Sehingga penonton pun
langsung bisa menangkap bahwa inti dari cerita pertunjukan tersebut adalah
tentang perempuan.
Dampak Pertunjukan
Wayang Urban terhadap wayang
Kehadiran
Wayang Urban tentu membawa dampak bagi perkembangan wayang di Indonesia. Bagi
penonton yang selama ini asing dan jauh dari wayang akan lebih mudah mengambil
nilai-nilai luhur yang selama ini dibawa oleh wayang. Ki Nanang Hape sendiri
menyadari bahwa bahasa merupakan kendala utama bagi para penonton awam.
Sehingga dalam dekade terakhir ini Ki Nanag Hape terus bereksplorasi bagaimana
menyampaikan nilai dalam wayang tanpa menggunakan kelir. Wayang Urban bukanlah
karya non kelir Ki Nanang Hape yang pertama. Beliau sempat menulis buku Dalang Goes to
Twitter yang berisikan puisi kisah wayang.
Wayang Urban juga menjadi bukti nyata bahwa
wayang bisa membaur dengan berbagai disiplin seni. Ki Nanang Hape berhasil
menampik stigma kebanyakan orang bahwa wayang adalah kesenian yang kuno.
Pertunjukan wayang yang terkesan monoton nyatanya bisa digubah menjadi dongeng
musikal yang ciamik. Hal ini tentu memungkinkan bahwa suatu hari nanti wayang
juga bisa berkolaborasi dengan seni film, seni kartun, dan seni dalam bentuk
digital.
Bagi pegiat seni wayang konvensional,
keberedaan Wayang Urban bisa menjadi jembatan yang menghubungkan dalang wayang
konvensional dengan penonton. Ketika penonton awam berhasil ditarik dengan
nilai-nilai yang ada pada wayang melalui Wayang Urban, maka bukan mustahil pada
perkembangannya mereka akan tertarik untuk mengulik bentuk wayang konvensional.
Sehingga ketertarikan tersebut akan memberikan panggung bagi pegiat seni wayang
konvensional.
Dyan Mega Wigati, mahasiswa jurusan tari
Institut Seni Indonesia Surakarta merasa cukup puas dengan sajian pertunjukan
Wayang Urban. Mega mengakui bahwa Wayang Urban merupakan solusi bagi penonton
seperti dia yang terkendala oleh bahasa pedalangan. Meski ISI Surakarta
memiliki prodak pertunjukan wayang bahasa Indonesia (Wayang Sandosa), namun
kolaborasi yang disajikan kurang semenakjubkan pertunjukan Wayang Urban.
Mega mengutarakan bahwa sajian pertunjukan
Wayang Urban selalu memiliki kejutan seni apa yang akan ditampilkan pada setiap
adegannya. Hanya saja mahasiswa asal Blitar ini merasa perpaduannya terlalu
didominasi oleh lagu-lagu dan terkesan tidak proporsional. Satu hal yang
membuat Dyan Mega betah duduk menyimak dongeng Ki Nanag Hape adalah penekanan
nilai dan maksud pada alur cerita wayang. Hal ini dikarenakan apabila Mega
menonton pertunjukan wayang kulit konvensional, selain bahasa, dia hanya bisa
menyaksikan alur cerita dan mengambil nilai-nilai sesuai interpretasinya
sendiri.
Berdasarkan tanggapan dari Dyan Mega, maka
tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa wayang adalah tontonan orang-orang yang
mau berpikir. Hal ini dikarenakan kebanyakan penikmat wayang kulit itu
sebenarnya sudah hafal cerita wayang yang disajikan, sehingga yang ditonton
pada saat itu bukanlah cerita wayangnya, melainkan cerminan kehidupannya pada
cerita tersebut. Penonton wayang konvensional harus bisa menangkap nilai dan
pelajaran yang ada dalam cerita tanpa harus dijelaskan oleh dalang dalam
pertunjukan tersebut.
Selain harus berpikir, penonton wayang
dituntut untuk bersabar. Hal ini tentu bertolak belakang dengan zaman sekarang
yang terkesan serba instan, to the point atau
berterus terang. Sehingga penonton generasi muda seperti Dyan Mega akan lebih
memilih pertunjukan seperti Wayang Urban yang menekankan nilai apa yang ingin
disampaikan. Apabila pegiat wayang masih berpegang pada kalimat wayang adalah
tontonan bagi orang terpilih, maka bagimana mungkin orang-orang terpilih
tersebut akan semakin banyak. Imbasnya adalah panggung-panggung pertunjukan
wayang pun semakin sedikit dan berdampak pada kesejahteraan seniman itu
sendiri.
Oleh karena itu, eksplorasi dan
penemuan-penemuan baru terhadap pertunjukan wayang seperti Wayang Urban harus
diperhatikan dan dikembangkan. Wayang Urban berhasil membuat wayang
meninggalkan ‘adiluhung’ menurut perspektif orang terdahulu menuju ‘adiluhung’
sesuai zamannya. Sehingga wayang pun bisa diterima oleh berbagai kalangan. (Akhmad Rifqi Mu’awam 18123123)
No comments:
Post a Comment