Apa kabar pembaca yang budiman? Semoga dalam keadaan sehat yaa. Kali ini saya ingin membagikan artikel saya mengenai Kritik Populer sebagai tugas Ujian Akhir Semester. Terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah: Dr. Sugeng Nugroho, S,Kar., M.Hum.
Well, Happy Reading!
Kritik
Popoler
Pelanggar Hak Kekayaan
Intelektual pada
Era Wayang Digital
Reuploader pertunjukan
wayang
Masa
pandemi merupakan era yang melumpuhkan banyak bidang kehidupan, termasuk seni
pertunjukan tradisi. Hal ini dikarenakan mayoritas kegiatan-kegiatan tersebut
berlawanan dengan pola hidup baru yang membatasi kerumunan. Seni pertunjukan
tradisi—khususnya pewayangan yang selama ini mesti berjibaku menarik minat
masyarakat dengan seni pertunjukan modern pun semakin terperosok eksistensinya.
Seiring
berjalannya waktu, dalang—seniman wayang mulai ‘melek’ teknologi dan merambah
ke media sosial untuk memasarkan karyanya. Platform
seperti live youtube, instagram pun menjadi wadah ‘wayang virtual’. Para
dalang wayang menarik sebanyak mungkin penonton hingga capaian tertentu agar
bisa mendapak iklan. Dari iklan tersebutlah seniman wayang mendapatkan
penghasilan. Tidak jarang juga ada penonton yang tertarik untuk menanggap
mereka meski ditayangkan secara virtual. Dalam hal ini, penanggap boleh meminta
lakon apa yang hendak dipertunjukan untuk tujuan doa peringatan tertentu.
Akan
tetapi, titik cerah para dalang tersebut harus terganggu oleh para reuploader tak bertanggung jawab. Alih-alih
membuat karya sendiri, reuploader di
sini justru mengunggah karya orang lain untuk menarik penonton. Tidak jarang
jumlah penonton yang didapat oleh reuploader
lebih banyak dari dalang yang notabene pembuat karya. Sehingga penonton
yang harusnya bisa mendatangkan iklan adsense youtube pun harus terhenti di reuploader. Dengan kata lain, dalang
pencipta tidak mendapatkan apa-apa kecuali eksploitasi terhadap jerih payah
mereka.
Pelanggaran Hak Kekayaan
Inetelektual dalang sebelum era digital
Jauh
sebelum era digital, pelenggaran Hak Kekayaan Intelektual para dalang sudah
sering mengalami pelanggaran oleh dalang lain. Hak Kekayaan Intelektual adalah hak
eksklusif yang diberikan suatu hukum atau peraturan kepada seseorang atau
sekelompok orang atas karya ciptanya. Pertunjukan wayang yang notabene adalah
seni yang kompleks, membuat pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual di dalamnya
semakin mungkin. Mulai dari bentuk wayang kreasi atau gubahan, perbendaharaan
gerak, dialog, lelucon, musik pengiring, dan penggarapab alur cerita. Tidak sedikit
dari dalang wayang kulit yang meniru karya orang lain tanpa izin atau bahkan
mengklaim bahwa karya yang dihasilkan merupakan hasil kreativitasnya sendiri.
Pelanggaran
Hak Kekayaan Intelektual pada masa itu bisa sedikit ditoleransi karena
pengetahuan tentang hak tersebut yang cenderung masih kurang. Sehingga para dalang
pun tidak mengurus klaim atas karyanya kepada petugas negara yang mengaturnya. Sementara
dalang yang menyadari bahwa karyanya ditiru bahkan diakui oleh orang lain masih
terpaku pada kebiasaan pola pikir orang jawa tentang berbagi ilmu dan
kebersamaan.
Sama
halnya dengan saat ini, pada saat itu dalang pencipta pun kadang tidak lebih
laris dari dalang peniru. Akan tetapi ketika dalang pencipta resah dengan
keadaan tersebut, mereka hanya bisa mengumpat kepada kerabatnya. Kembali lagi,
edukasi tentang Hak Kekayaan Intelektual pada saat itu memang cenderung kurang.
Berbeda
dengan sekarang, para dalang mulai mengerti apa itu legitimasi. Dalang yang
mengunggah karya mereka ke media sosial mulai mencantumkan logo atau identitas
mereka. Langkah ini tentu diharapkan bisa memberitahu kepada penonton bahwa
pertunjukan yang ditonton merupakan karya dari dalang tertentu.
Namun,
para pelanggar hak cipta ini seperti tidak kekurangan akal. Mereka meng-crop atau memotong bagian video yang
menunjukan logo pencipta. Tidak tanggung-tanggung, apabila pada zaman
sebelumnya dalang lain hanya meniru sebagian unsur dalam sebuah karya, maka reuplaoder ini tanpa segan mengunggah
utuh sebuah pertunjukan wayang.
Mirisnya
lagi, tidak sedikit para reuploader
ini hadir dari kalangan dalang itu sendiri. Dengan dalih membantu memasarkan,
para dlang reuploader ini mengunggah ulang dengan menambahkan logo miliknya
pada bagian lain. Apabila memang berniat untuk membantu memasarkan, seharusnya
cukup untuk menampilkan beberapa bagian atau cuplikan saja. Selanjutnya para
penonton diarahkan untuk mengunjungi media sosial pembuat karya.
Fenomena
pelanggaran hak atas kekayaan intelektual yang merugikan ini tentu harus segera
ditindak lanjuti. Pertama, wawasan mengenai hak cipta di kalangan seniman
tradisi khusunya pewayangan harus lebih digencarkan. Sehingga para dalang tidak
berhenti pada legitimasi video melalui logo, melainkan mulai mendaftarkan karya
mereka terhadap pihak yang berwajib. Selain itu para dalang yang merasa
karyanya dijiplak atau bahkan diunggah ulang tidak boleh segan untuk
melaporkan si pelaku.
Langkah
kedua, para pelanggar yang masih saja melancarkan aksinya harus dihukum berat. Entah
itu denda dengan kisaran tertentu serta membayar kerugian yang diterima dalang
pencipta atas eksploitasi karya mereka.
Apabila
para dalang ini masih berpegang pada prinsip orang jawa tentang berbagi dan
kebersamaan. Maka prinsip tersebut juga harus diberlakukan kepada reuploader. Uang yang dihasilkan dari
unggah ulang karya dalang pencipta tidak boleh ditilap begitu saja. Harus ada
transparansi penghasilan reuploader. Kemudian
ada aturan tertentu tentang pembagian hasil dengan presentase tertentu antara
pencipta karya dan mereka yang mengaku membantu memasarkan dalang. (Akhmad Rifqi
Mu’awam 18123123)
No comments:
Post a Comment