Sunday 25 July 2021

Contoh Kritik Populer: Pelanggar Hak Kekayaan Intelektual pada Era Wayang Digital

Apa kabar pembaca yang budiman? Semoga dalam keadaan sehat yaa. Kali ini saya ingin membagikan artikel saya mengenai Kritik Populer sebagai tugas Ujian Akhir Semester. Terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah: Dr. Sugeng Nugroho, S,Kar., M.Hum.

Well, Happy Reading! 

Kritik Popoler

Pelanggar Hak Kekayaan Intelektual pada

Era Wayang Digital

Reuploader pertunjukan wayang

Masa pandemi merupakan era yang melumpuhkan banyak bidang kehidupan, termasuk seni pertunjukan tradisi. Hal ini dikarenakan mayoritas kegiatan-kegiatan tersebut berlawanan dengan pola hidup baru yang membatasi kerumunan. Seni pertunjukan tradisi—khususnya pewayangan yang selama ini mesti berjibaku menarik minat masyarakat dengan seni pertunjukan modern pun semakin terperosok eksistensinya.

Seiring berjalannya waktu, dalang—seniman wayang mulai ‘melek’ teknologi dan merambah ke media sosial untuk memasarkan karyanya. Platform seperti live youtube, instagram pun menjadi wadah ‘wayang virtual’. Para dalang wayang menarik sebanyak mungkin penonton hingga capaian tertentu agar bisa mendapak iklan. Dari iklan tersebutlah seniman wayang mendapatkan penghasilan. Tidak jarang juga ada penonton yang tertarik untuk menanggap mereka meski ditayangkan secara virtual. Dalam hal ini, penanggap boleh meminta lakon apa yang hendak dipertunjukan untuk tujuan doa peringatan tertentu.

Akan tetapi, titik cerah para dalang tersebut harus terganggu oleh para reuploader tak bertanggung jawab. Alih-alih membuat karya sendiri, reuploader di sini justru mengunggah karya orang lain untuk menarik penonton. Tidak jarang jumlah penonton yang didapat oleh reuploader lebih banyak dari dalang yang notabene pembuat karya. Sehingga penonton yang harusnya bisa mendatangkan iklan adsense youtube pun harus terhenti di reuploader. Dengan kata lain, dalang pencipta tidak mendapatkan apa-apa kecuali eksploitasi terhadap jerih payah mereka.

 

Pelanggaran Hak Kekayaan Inetelektual dalang sebelum era digital

Jauh sebelum era digital, pelenggaran Hak Kekayaan Intelektual para dalang sudah sering mengalami pelanggaran oleh dalang lain. Hak Kekayaan Intelektual adalah hak eksklusif yang diberikan suatu hukum atau peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Pertunjukan wayang yang notabene adalah seni yang kompleks, membuat pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual di dalamnya semakin mungkin. Mulai dari bentuk wayang kreasi atau gubahan, perbendaharaan gerak, dialog, lelucon, musik pengiring, dan penggarapab alur cerita. Tidak sedikit dari dalang wayang kulit yang meniru karya orang lain tanpa izin atau bahkan mengklaim bahwa karya yang dihasilkan merupakan hasil kreativitasnya sendiri.

Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual pada masa itu bisa sedikit ditoleransi karena pengetahuan tentang hak tersebut yang cenderung masih kurang. Sehingga para dalang pun tidak mengurus klaim atas karyanya kepada petugas negara yang mengaturnya. Sementara dalang yang menyadari bahwa karyanya ditiru bahkan diakui oleh orang lain masih terpaku pada kebiasaan pola pikir orang jawa tentang berbagi ilmu dan kebersamaan.

Sama halnya dengan saat ini, pada saat itu dalang pencipta pun kadang tidak lebih laris dari dalang peniru. Akan tetapi ketika dalang pencipta resah dengan keadaan tersebut, mereka hanya bisa mengumpat kepada kerabatnya. Kembali lagi, edukasi tentang Hak Kekayaan Intelektual pada saat itu memang cenderung kurang.

Berbeda dengan sekarang, para dalang mulai mengerti apa itu legitimasi. Dalang yang mengunggah karya mereka ke media sosial mulai mencantumkan logo atau identitas mereka. Langkah ini tentu diharapkan bisa memberitahu kepada penonton bahwa pertunjukan yang ditonton merupakan karya dari dalang tertentu.

Namun, para pelanggar hak cipta ini seperti tidak kekurangan akal. Mereka meng-crop atau memotong bagian video yang menunjukan logo pencipta. Tidak tanggung-tanggung, apabila pada zaman sebelumnya dalang lain hanya meniru sebagian unsur dalam sebuah karya, maka reuplaoder ini tanpa segan mengunggah utuh sebuah pertunjukan wayang.

Mirisnya lagi, tidak sedikit para reuploader ini hadir dari kalangan dalang itu sendiri. Dengan dalih membantu memasarkan, para dlang reuploader ini mengunggah ulang dengan menambahkan logo miliknya pada bagian lain. Apabila memang berniat untuk membantu memasarkan, seharusnya cukup untuk menampilkan beberapa bagian atau cuplikan saja. Selanjutnya para penonton diarahkan untuk mengunjungi media sosial pembuat karya.

Fenomena pelanggaran hak atas kekayaan intelektual yang merugikan ini tentu harus segera ditindak lanjuti. Pertama, wawasan mengenai hak cipta di kalangan seniman tradisi khusunya pewayangan harus lebih digencarkan. Sehingga para dalang tidak berhenti pada legitimasi video melalui logo, melainkan mulai mendaftarkan karya mereka terhadap pihak yang berwajib. Selain itu para dalang yang merasa karyanya dijiplak atau bahkan diunggah ulang tidak boleh segan untuk melaporkan  si pelaku.

Langkah kedua, para pelanggar yang masih saja melancarkan aksinya harus dihukum berat. Entah itu denda dengan kisaran tertentu serta membayar kerugian yang diterima dalang pencipta atas eksploitasi karya mereka.

Apabila para dalang ini masih berpegang pada prinsip orang jawa tentang berbagi dan kebersamaan. Maka prinsip tersebut juga harus diberlakukan kepada reuploader. Uang yang dihasilkan dari unggah ulang karya dalang pencipta tidak boleh ditilap begitu saja. Harus ada transparansi penghasilan reuploader. Kemudian ada aturan tertentu tentang pembagian hasil dengan presentase tertentu antara pencipta karya dan mereka yang mengaku membantu memasarkan dalang. (Akhmad Rifqi Mu’awam 18123123)

No comments:

Post a Comment