Sunday 11 September 2016

Kasih Seorang Ibu 3

Jum’at, 21 Desember
Malam itu asrama sangat ramai sekali, ada yang menonton tv, ada yang bersendau gurau, ada yang sedang jajan, dan lainnya. Pasalnya setiap hari sabtu di sekolah Rian itu tidak ada pelajaran. Hari sabtu diisi dengan kegiatan senam, cinta lingkungan, dan ekstrakurikuler. Biasanya kalau malam seperti ini, Rian memilih untuk bermain ke kaman temannya, Rifqi. Rian mengajak Sidiq untuk ke kamar Rifqi. Di sana terlihat ada Mu’minin, Fajar, dan tiga temannya yang lain. Namun, Rifqi sudah menyangking sebuah ember. Rupanya ia hendak mencuci pakaian-pakaiannya.
“Mau nyuci apa, Juk?”, tanya Sidiq kepada Rifqi yang akrab disapa Juki.
“Iya nih, 5kg, hehe. Mau bantuin apa??”, jawab Juki.
“Lho, besok mbok pulang?! Cuci di rumah aja, Juk!”, saran Rian.
“Nggak ah. Biasanya kalau aku bawa pulang, nanti jadi dicuciin ibu. Padahal udah aku bilangin biar aku nyuci sendiri aja. Tau-tau udah wangi dijemuran. Aku nggak tega, soalnya kan aku gak tau apakah ibuku lagi sehat atau enggak”. Rifqi pun pergi ke kamar mandi. Dalam hati Rian, ia berhalusinasi ada suara petir. Glegerrr. Ia teringat rabu lalu, ia sengaja membawa pakaian kotor ke rumah agar dicucikan ibunya.
“Ayo kita nyanyi-nyanyi aja?!”, ajak salah satu teman bernama Nur Rafik.
“Ayo...”, kata Singgih dengan sigap mengambil gitar milik Rifqi yang ada di samping lemari.
Kurang lebih satu jam mereka bernyanyi, Rifqi pun bergabung bersama mereka. Tiba-tiba ada Dedi yang masuk ke kamar Rifqi dengan membawa camilan. Ia membawakan seriping pisang. Di sela itu, Rifqi yang sedang bermain hape tersadar bahwa sekarang adalah tanggal 21 Desember.
“Wehh gaes, did you know besok itu hari apa???”.
“Hari sabtu mbok..”, kata Sofiqi.
“Bukan, besok itu hari ibu”.
“Oh, iya ya. Aku jadi gak sabar pengen cepet pulang”, potong Mu’minin.
Rian pun mendengar suara petir lagi. Ia teringat bahwa selama ini ia hanya bisa berdebat dengan ibunya dan sering merepotkan ibunya. Ia menunduk di atas ranjangnya Rifqi.
“Rian!”, kaget Rifqi.
“Apa si, Juk?!”
“Mbengongin apaan koh? Aku mau ngopi dulu lah.”
Rifqi pergi meninggalkan kamarnya lagi. Teman-temannya pun tertawa. Untuk menghilangkan kemaluannya. Ehh, maksudnya rasa malunya, Rian pun mencoba untuk mengajak teman-temannya berdiskusi.
“Oh, iya ya.. Besok itu hari Ibu. Sebenarnya who is mother bagi kalian?”, tanya Rian.
“Dia itu wonder woman. She is my hero. Soalnya kalo aku sakit, Ibu lah yang selalu merawatku. Kalo aku laper, Ibu juga yang memasak untukku.”, kata Fajar
“Kalo menurutku.. Dia itu kayak matahari, hanya memberi dan tak harap kembali.”, kata Dedi.
“Yee, itu sih lirik lagu kasih ibu. Nih, Ibu itu koki terhebat di dunia. Ada cinta di setiap masakannya. Iya ngga Yan?”
“Hahaa.. Iya bener banget tuh.”, Rian pura-pura tertawa.
“Bagiku, Ibu itu kayak rumah. Disanalah tempat aku berkeluh kesah dan becengkrama. Ohh no, I miss my Mom.”, kata Mu’minin.
“Aku sama ahh sama Mu’minin. Ibu itu tempat untuk aku curhat.”, kata Singgih
Rifqi datang dengan segelas kopi hitam pekat kesukaannya, “Wihh, ada apa ini?”
“Nah, Ibu itu kayak kopi. Kasih sayangnya begitu hangat dan membawa ketenangan.”, kata Nur Rafik.
“Hahaa, aku setuju sama Nur Rafik tuh.”, sahut Sofiqi.
“Kalo aku.. Sini pinjem gitarnya, Nggih! Ehmm.. Ehem..”, kata Rifqi sambil bersiap memainkan gitarnya.
“Ahh, paling engga lagunya Iwan Fals yang Ibu itu kan?”, Fajar mengkonfirmasi.
“Iya, tapi ini yang judulnya Ibu (dalbo). Udah, dengerin dulu!!”
Rifqi dengan lihai menarikan jari-jemarinya dan memetik sang gitar.
“Menjelang saat kelahiran anak
Detik  akhir Ibu hidup dan mati
Namun saat s’perti itu yang ia tunggu
Ohhh hmm hm betapa besar pengorbanannya
Sembilan bulan lamanya menanti
Dengan beban yang ia tanggung sendiri
Do’a puji pada-Nya, mohon s’lamat
Ohhh hmm hm tak pernah terlupa s’tiap saat
Dan ia pun s’lalu berdo’a
Bergunalah bagi nusa dan bangsa
Dan jangan menjadi sampah negara
Kata-kata itu terucap selalu
Sejak akhir hingga binasa
Ku renung s’lalu..
Aku menyesal pernah kecewakan hatinya
Aku menyesal pernah kecewakan hatinya
Aku menyesal pernah kecewakan hatinya.”, nyanyi Rifqi dengan matanya yang terlihat berkaca.
          Tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu.
“Sudah malem, Mas. Ngganggu temen yang lain. Tidur!!”
Rupa-rupanya adalah sekretariat asrama, Mas Andis yang mengingatkan untuk tidur. Tak heran, saat itu jam di kamar Rifqi sudah menunjuka angka sepuluh.
“Sudah.. sudah.. pada pulang sana!”, kata Rifqi kepada teman-temannya sambil mengusap air matanya.

No comments:

Post a Comment