Jum’at, 21 Desember
Malam
itu asrama sangat ramai sekali, ada yang menonton tv, ada yang bersendau gurau,
ada yang sedang jajan, dan lainnya. Pasalnya setiap hari sabtu di sekolah Rian
itu tidak ada pelajaran. Hari sabtu diisi dengan kegiatan senam, cinta
lingkungan, dan ekstrakurikuler. Biasanya kalau malam seperti ini, Rian memilih
untuk bermain ke kaman temannya, Rifqi. Rian mengajak Sidiq untuk ke kamar
Rifqi. Di sana terlihat ada Mu’minin, Fajar, dan tiga temannya yang lain.
Namun, Rifqi sudah menyangking sebuah ember. Rupanya ia hendak mencuci
pakaian-pakaiannya.
“Mau nyuci apa, Juk?”, tanya
Sidiq kepada Rifqi yang akrab disapa Juki.
“Iya nih, 5kg, hehe. Mau
bantuin apa??”, jawab Juki.
“Lho, besok mbok pulang?! Cuci di rumah aja, Juk!”,
saran Rian.
“Nggak ah. Biasanya kalau aku
bawa pulang, nanti jadi dicuciin ibu. Padahal udah aku bilangin biar aku nyuci
sendiri aja. Tau-tau udah wangi dijemuran. Aku nggak tega, soalnya kan aku gak
tau apakah ibuku lagi sehat atau enggak”. Rifqi pun pergi ke kamar mandi. Dalam
hati Rian, ia berhalusinasi ada suara petir. Glegerrr. Ia teringat rabu lalu,
ia sengaja membawa pakaian kotor ke rumah agar dicucikan ibunya.
“Ayo kita nyanyi-nyanyi aja?!”,
ajak salah satu teman bernama Nur Rafik.
“Ayo...”, kata Singgih dengan
sigap mengambil gitar milik Rifqi yang ada di samping lemari.
Kurang
lebih satu jam mereka bernyanyi, Rifqi pun bergabung bersama mereka. Tiba-tiba
ada Dedi yang masuk ke kamar Rifqi dengan membawa camilan. Ia membawakan
seriping pisang. Di sela itu, Rifqi yang sedang bermain hape tersadar bahwa
sekarang adalah tanggal 21 Desember.
“Wehh gaes, did you know besok itu hari apa???”.
“Hari sabtu mbok..”, kata
Sofiqi.
“Bukan, besok itu hari ibu”.
“Oh, iya ya. Aku jadi gak sabar
pengen cepet pulang”, potong Mu’minin.
Rian pun mendengar suara petir
lagi. Ia teringat bahwa selama ini ia hanya bisa berdebat dengan ibunya dan
sering merepotkan ibunya. Ia menunduk di atas ranjangnya Rifqi.
“Rian!”, kaget Rifqi.
“Apa si, Juk?!”
“Mbengongin apaan koh? Aku mau
ngopi dulu lah.”
Rifqi pergi meninggalkan
kamarnya lagi. Teman-temannya pun tertawa. Untuk menghilangkan kemaluannya.
Ehh, maksudnya rasa malunya, Rian pun mencoba untuk mengajak teman-temannya
berdiskusi.
“Oh, iya ya.. Besok itu hari
Ibu. Sebenarnya who is mother bagi kalian?”, tanya Rian.
“Dia itu wonder woman. She is
my hero. Soalnya kalo aku sakit, Ibu lah yang selalu merawatku. Kalo aku
laper, Ibu juga yang memasak untukku.”, kata Fajar
“Kalo menurutku.. Dia itu kayak
matahari, hanya memberi dan tak harap kembali.”, kata Dedi.
“Yee, itu sih lirik lagu kasih
ibu. Nih, Ibu itu koki terhebat di dunia. Ada cinta di setiap masakannya. Iya
ngga Yan?”
“Hahaa.. Iya bener banget
tuh.”, Rian pura-pura tertawa.
“Bagiku, Ibu itu kayak rumah.
Disanalah tempat aku berkeluh kesah dan becengkrama. Ohh no, I miss my Mom.”,
kata Mu’minin.
“Aku sama ahh sama Mu’minin.
Ibu itu tempat untuk aku curhat.”, kata Singgih
Rifqi datang dengan segelas
kopi hitam pekat kesukaannya, “Wihh, ada apa ini?”
“Nah, Ibu itu kayak kopi. Kasih
sayangnya begitu hangat dan membawa ketenangan.”, kata Nur Rafik.
“Hahaa, aku setuju sama Nur
Rafik tuh.”, sahut Sofiqi.
“Kalo aku.. Sini pinjem
gitarnya, Nggih! Ehmm.. Ehem..”, kata Rifqi sambil bersiap memainkan gitarnya.
“Ahh, paling engga lagunya Iwan
Fals yang Ibu itu kan?”, Fajar mengkonfirmasi.
“Iya, tapi ini yang judulnya
Ibu (dalbo). Udah, dengerin dulu!!”
Rifqi dengan lihai menarikan
jari-jemarinya dan memetik sang gitar.
“Menjelang saat kelahiran anak
Detik akhir Ibu hidup dan mati
Namun saat s’perti itu yang ia
tunggu
Ohhh hmm hm betapa besar
pengorbanannya
Sembilan bulan lamanya menanti
Dengan beban yang ia tanggung
sendiri
Do’a puji pada-Nya, mohon
s’lamat
Ohhh hmm hm tak pernah terlupa
s’tiap saat
Dan ia pun s’lalu berdo’a
Bergunalah bagi nusa dan bangsa
Dan jangan menjadi sampah
negara
Kata-kata itu terucap selalu
Sejak akhir hingga binasa
Ku renung s’lalu..
Aku menyesal pernah kecewakan
hatinya
Aku menyesal pernah kecewakan
hatinya
Aku menyesal pernah kecewakan
hatinya.”, nyanyi Rifqi dengan matanya yang terlihat berkaca.
Tiba-tiba terdengar suara dari balik
pintu.
“Sudah malem, Mas. Ngganggu
temen yang lain. Tidur!!”
Rupa-rupanya adalah sekretariat
asrama, Mas Andis yang mengingatkan untuk tidur. Tak heran, saat itu jam di
kamar Rifqi sudah menunjuka angka sepuluh.
“Sudah.. sudah.. pada pulang
sana!”, kata Rifqi kepada teman-temannya sambil mengusap air matanya.
No comments:
Post a Comment